Dingin sayu menyejukkan hatiku, tapi tidak pada pikiranku yang terus mendidih hingga berhasil membuat air mataku mengalir lepas. Kejadian tadi tak mungkin menghilang sekejab mata dalam memoriku. Sayatan kalimat keluar dari bibir mungil gadis cantik itu sungguh berhasil mengoyak hatiku. Entah apa dibisikkan pada Disa sahabatnya itu hingga Karin dan Disa tertawa setelah melihat wajah polos tanpa make upku tadi. Ku pasang saja wajah sok sibuk dan berpura pura tak mengetahui ejekan mereka.
Kutarik lengan Sifa yang tertutup kain mukenahnya. Aku mengajaknya pulang tanpa alasan. Memang saat itu kami usai tadarus bersama, sebagai rutinitas kami saat bulan puasa. “Sifa, kenapa sih si Nenek Lampir sama Kuntilanak itu cengar-cengir habis menatapku ?, mereka kira sirkus apa ? Kamu dengar tidak bisikkan mereka tadi ?” tanyaku pada Sifa.
Enggak tuh, udah biarin aja gak usah dipikir. Gak penting juga kan ? Aku tahu kamu pasti sebel sama mereka ya ? Makanya kamu mengajakku pulang. Ya udah ayo kita pulang bareng !”, sahut Sifa, sahabat sekaligus psikolog terbaik hatiku.
Tidur sajalah
Meskipun hatiku sangat jengkel dan ingin sekali rasanya menjambak rambut nenek Lampir dan Kuntilanak itu sampai botak tak tersisa, namun tetap saja itu sama sekali tak mengurangi selera tidurku. Begitu pulasnya berlabuh di pulau kapukku sembari telinga menyimak sempurna lagu VIERRA berjudul “rasa ini”. Hahh serasa berada di surga dunia sampai tak sadar bermimpi sosok agak asing untuk hatiku tapi tak asing untuk hari-hariku.
Tik, tuk, tik, tuk bunyi jam dinding kupandangi lurus. Terlihat sedikit kabur dan buram mungkin karena kantuk ini masih tidak rela membiarkan diriku terbangun. “Apa ? pukul 07.00, mati aku, hari ini ada upacara.” Bisa bisa dijemur di lapangan sampai badanku tak jauh beda dengan ikan asin milik bunda. Bedanya mungkin yang bikin asin bukan garam melainkan cucuran keringatku, pikirku dalam hati sambil geleng geleng kepala kayak orang dangdutan gitu. Ku pancal selimutku, saking tergesa-gesanya hingga tiba tiba, Arrggghh … aku tersungkur di lantai lalu lantai berhasil memompa jidatku sampai timbul benjolan sebesar ubi jalar. “Ahhhh sial” pikirku sebal. Kulanjutkan lari maraton menuju kamar mandi dan kali ini benar benar seperti orang gila mondar mandir kesana-kemari saking paniknya. Untung hari ini bapak libur kerja, jadi bisa kusuruh rodi bapak buat nganter aku.
“Tua tua bapak juga gak kalah ya sama Valentino Rossi, jadi gak telat deh, he he he simpan ya pak wajah merahnya Dinda cuma bercanda kok”. Langsung saja kakiku bergegas ke kelas. Lagi lagi harus lari maraton, ahhh sebel.
Uuups maaf
Wakkkssss braaaaghhhhh aku menabarak sesosok lelaki di depanku, dan parahnya benjolan di jidatku tambah maju lima cm. “Maaf, lagi buru-buru, gak sengaja” ucapku memelas.
“i i i ya ga ga pa kok, ha ti ha ti” ucapnya terbata-bata hingga rasanya harus menunggu berabad-abad hingga selesai diucapkan. Entah mengapa segugup itu untuk bicara denganku. Mungkin dia ilfeel atau ketakutan lihat benjolan segede bola basket di kepalaku, pikirku sembari menuju kelas.
Kulangkahkan kaki memasuki pintu kelas dan wihhh ada penyambut kedatanganku,siapa lagi kalau bukan nenek Lampir sama Kuntilanak versi 2016 itu.
“Ihhhhhh tu jidat apa bola voli, gede amat benjolannya” ucap Karin. “ha ha ha bukan lagi, dasar kutu buku”, sahut Disa alias Kuntilanak modern itu. Sakit sih sebernya dikatain begitu, tapi sudahlah gak usah diladenin nanti ikut-ikutan gila lagi, pikirku sambil ketawa ketiwi.
Surprise diatas meja
“Aneh siapa naruh bunga di mejaku ? Ada suratnya lagi,” ku baca isi surat itu dalam hati, ya iyalah masak dibaca keras-keras nanti disangkanya pidato pemilihan ketua osis lagi. “Untuk Dinda, ini bunga buat kamu, sebenarnya selama ini hatiku suka sama kamu tapi gak berani ngungkapinnya. Entah kesambet apa sekarang punya keberanian buat bilang sama kamu. Dari Danu”.
“Loh bukannya Danu itu barusan tertabrak aku ? Oooh jadi dia gugup bukan karena lihat benjolan di kepalaku, tapi karena baru naruh surat ini. ” pikirku sambil tersenyum sinis. Haahhh ini saatnya balas dendam ke nenek Lampir sama Kuntilanak nyebelin itu. Setahuku nenek Lampir sama Kuntilanak suka Danu, eh ternyata Danu malah suka aku.
Kuhampiri Karin dan Disa, keberanianku terkumpul untuk mengatakan ini. “Tuh makanya jadi orang jangan sombong biar aku tak secantik kalian. Tak semodis kalian, tak pintar dandan, tak se update kalian. Cuma wanita sederhana jauh dari kata sempurna selalu kalian hina, tapi Danu malah tertarik sama aku, weeeekkk…”, kataku puas.
Akhirnya malam-malam selanjutnya akan jadi tidur terpulasku dan ternyenyakku karena nenek Lampir sama Kuntilanak gak akan pernah bisa lagi ngehina aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar