Suara peluit dibunyikan. Pertandingan futsal antar kelas pun dimulai. Seperti biasa, aku duduk di ruang laboratorium Biologi yang berada di lantai dua sambil menghadap ke arah jendela. Dari ruangan ini, aku dapat melihat pertandingan itu. Pertandingan di mana salah satu tim futsal itu adalah tim sekelasku. Dan di antara mereka juga ada seseorang yang ingin kulihat. Seseorang yang dapat terlihat dengan jelas meskipun jarak antara lapangan dengan laboratorium Biologi ini sangat jauh.
Dia adalah seseorang yang diciptakan Allah untuk hadir di kehidupanku. Dan dia juga adalah seseorang yang kini hadir di hatiku. Tidak, seharusnya aku tidak mempunyai perasaan ini. Perasaan yang seharusnya tidak ada dalam hatiku. Perasaan yang seharusnya aku abaikan. Tapi mengapa semuanya menjadi seperti ini? Semakin aku ingin membuangnya, saat itu juga perasaanku padanya semakin dalam. Ya Allah.
Apa yang harus aku lakukan? Bukankah perasaanku ini salah? Seharusnya aku tidak menyimpan perasaan padanya. Aku tahu. Dan sangat tahu. Bukankah Islam melarang kita untuk berpacaran? Bahkan bukan berpacaran saja, menyimpan rasa kepada lawan jenis pun adalah sebuah dosa. Lalu bagaimana yang terjadi denganku saat ini? Apa aku juga melakukan sebuah dosa? Entahlah. Aku berharap perasaan ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu.
Niatku untuk melihat pertandingan itu sampai selesai, akhirnya aku urungkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Aku harus segera pulang ke rumah. Dari tadi mungkin ayah sudah menungguku.
Ketika sampai di rumah, ayah dengan kebiasaannya, yaitu duduk di depan rumah sambil membaca koran melambaikan tangannya saat melihat kedatanganku. Aku pun tersenyum seraya membalas lambaian tangannya.
Tumben kok sore banget pulangnya, Na.” ucap ayah saat aku hendak melepaskan sepatuku.
“Iya nih, yah, tadi aku lihat pertandingan kelasku dulu.” jawabku.
“Oh ya sana, kamu mandi dulu, terus langsung bantu ayah di dapur, ya.”
“Oke, yah!”
Aku langsung menuruti apa yang diperintahkan ayah. Setelah selesai mandi, aku langsung pergi ke dapur untuk membantu ayah. Ya, kami memang sering memasak berdua. Bahkan kegiatan sehari-hari di rumah seperti membereskan rumah, menonton TV dan kegiatan lainnya pun kami lakukan berdua. Kami memang tinggal hanya berdua. Ibuku meninggal ketika aku berusia 10 tahun. Meskipun aku sering merasa kesepian, namun, dengan kehadiran ayah, rasa kesepian itu hilang.
Keesokan paginya, aku melihat bahwa ayah tidak benar-benar sehat. Ia kelihatan pucat dan lemas. Aku pun langsung menyuruhnya untuk tidak bekerja. Namun ia bersikeras untuk tetap bekerja hari ini.
“Ayah sehat kok, Ana.” Begitulah katanya. Itulah kata-kata yang sering ayah jawab ketika aku melarangnya untuk bekerja. Aku hanya bisa menghela napas dan berdoa supaya tidak terjadi apa-apa dengan ayah.
Di sekolah, aku belajar seperti biasa. Namun aku terus memikirkan ayah sejak tadi pagi. Aku takut terjadi apa-apa dengan ayah. Bagaimana kalau ayah pingsan? Bagaimana kalau ayah jatuh dari motor ketika sedang bekerja? Ah, tidak. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan ayah. Semoga Allah melindungi ayah dimana pun ayah berada.
Setelah sepulang sekolah, aku diberitahu oleh tetangga di sebelah rumahku bahwa ayahku mengalami kecelakaan. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menuju rumah sakit di mana ayah dirawat sekarang.
Ketika sampai, aku langsung menyusuri koridor rumah sakit. Aku berlari dengan perasaan campur aduk. Khawatir, gelisah, takut, semuanya aku rasakan. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan ayah. Aku tidak mau kalau sampai ayah pergi meninggalkanku. Dialah keluargaku satu-satunya. Dialah harta yang paling berharga bagiku di dunia ini.
“Ayah!” Aku langsung menghampiri ayah yang terbaring lemas di atas ranjang. Ayah tersenyum ketika melihatku, lalu berkata, “Ayah tidak apa-apa kok, Na.”
“Ayah, cukup! Ayah nggak usah bilang gitu! Sekarang ayah lihat, kan? Ayah lagi sakit!” ucapku dengan cemas.
“Jadi anak bapak itu adalah Ana?”
Aku terkejut ketika seseorang dari belakang menghampiri aku dan ayah. Siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba menyebut namaku?
“Riga?” Aku kaget ketika melihat seseorang itu. Kenapa Riga tiba-tiba ada di sini?
“Ayah kamu nggak apa-apa kok. Dia cuma kecapean aja.” ucapnya seraya tersenyum kepadaku.
“Kamu kok ada di sini?”
Tadi aku lihat pak Hendra jatuh dari motor. Makanya aku langsung bawa dia ke rumah sakit.”
“Jadi ayah sama kamu udah kenal?”
Riga mengangguk. “Pak Hendra adalah teman ayahku. Dan pak Hendra juga adalah ojeg langganan ibu aku.”
Ojeg langganan ibu aku? Ya Allah. Aku sungguh tidak percaya ini semua.
“Makasih, Ga. Kamu udah nganterin ayah aku ke sini. Aku juga sebenarnya udah ngelarangnya buat kerja hari ini, tapi dia nggak mau dengerin aku.” ucapku kepada Riga ketika kami duduk di ruang tunggu.
“Sama-sama, Na. Aku juga nggak nyangka ternyata kamu anaknya pak Hendra.”
“Aku juga nggak nyangka ternyata kamu kenal sama ayah.”
“Setiap pagi ayah kamu selalu nganterin ibu aku pergi bekerja, makanya pak Hendra udah aku anggap sebagai keluarga aku sendiri.”
“Sekali lagi makasih, ya.”
“Iya, Na. Sama-sama. Aku nggak nyangka, ya. Ternyata kalau di luar sekolah kamu tuh beda banget.”
“Beda? Maksudnya?”
Ana, ayo. Kata dokter ayah boleh pulang hari ini juga.” Ayah datang ketika aku menunggu jawaban Riga. Ah, Ya Allah. Ada apa denganku? Kenapa aku merasa senang seperti ini? Kenapa hatiku merasa nyaman ketika ada di dekatnya?
“Ayah ‘kan masih sakit? Mendingan ayah istirahat dulu.” ucapku.
“Ayah nggak apa-apa kok, Ana. Mendingan kita pulang aja. Ayah nggak suka rumah sakit.”
Aku mengangguk. “Ya udah, yah. Kita pulang aja kalau gitu.”
“Aku anterin aja ya, Na.” ucap Riga kepadaku.
Nggak, Ga. Nggak usah. Aku sama ayah udah ngerepotin kamu. Mendingan sekarang kamu pulang aja. Biar aku sama ayah pulang berdua aja.”
“Ya udah kalau gitu. Saya pulang dulu ya, pak Hendra.” ucapnya kepada ayahku.
“Iya silahkan nak, Riga. Makasih loh udah bawa bapak ke rumah sakit.”
“Iya pak, sama-sama. Na, aku pulang dulu, ya.”
“Iya, Ga. Makasih, ya.”
Riga mengangguk. Ia hanya tertawa kecil ketika aku mengucapkan ‘terima kasih’ yang entah ke berapa kalinya.
Hari ini, tepat setelah satu minggu kesehatan ayah semakin membaik, aku menghadiri acara perpisahan di sekolahku. Ya, semua sekolah di seluruh Indonesia pun pasti sama seperti sekolahku. Mengadakan acara perpisahan sebelum kelas dua belas keluar dari sekolahnya masing-masing.
Acara perpisahan itu pun berjalan dengan lancar. Namun sayangnya, saking sibuknya dengan kegiatan masing-masing, aku dan Riga tidak saling menyapa. Ketika aku tidak sengaja melihatnya, saat itu dia sedang berbincang dengan teman-temannya. Mungkin ini adalah kesempatannya yang terakhir sebelum mereka berpisah.
Lima tahun lamanya aku dan Riga tidak saling bertemu. Ya, acara perpisahan lima tahun silam itu adalah hari dimana aku terakhir kali melihatnya. Setelah lulus S1 di Univertas favoritku, sekarang aku bekerja di sebuah perusahaan asing dan menjadi seorang novelis. Ya, sejak kecil aku memang bercita-cita menjadi seorang penulis. Dan alhamdulillah, Allah telah mengabulkan semua permintaanku. Bekerja di perusahaan asing dan menjadi seorang novelis.
Hari ini adalah hari aku launcing novel ke tigaku. Aku bersyukur, karena dari pertama kali aku menginjak di bangku perkuliahan, sampai akhirnya bekerja di sebuah perusahaan asing, akhirnya aku telah meliris tiga novel. Dan itu adalah sebuah kebanggaanku. Dan ayah, kini dia tidak lagi bekerja menjadi tukang ojeg. Aku menyuruhnya untuk tidak bekerja dan hanya diam di rumah. Kami tidak lagi tinggal di rumah yang dulu. Sekarang kami tinggal di sebuah apartemen hasil dari jerih payahku selama ini.
Sampai siang hari, acara itu pun belum selesai. Aku masih berbincang-bincang dengan seorang gadis yang sangat menyukai semua novel karyaku. Aku berterima kasih padanya karena selama ini dia selalu mendukungku dalam segala hal apapun dan selalu hadir di acara launcing novelku.
“Novel kamu yang ketiga bagus juga.” Perhatianku teralih ketika ada seseorang datang dan tersenyum kepadaku.
“Riga? Kamu-“
“Hebat, Na. Hebat banget. Kamu udah meliris ke tiga novel kamu.”
“Kamu kok ada di sini?”
“Aku adalah pengagum rahasia kamu.”
“Pengagum rahasia? Maksudnya?”
“Kamu tahu? Surat yang sering ada di bawah pintu apartemenmu, itu adalah surat dariku.”
Aku sangat terkejut ketika Riga mengatakan hal itu. Surat di bawah pintu apartemen. Ya, aku sering sekali mendapatkan surat itu. Surat yang setiap hari selalu ada di bawah pintu apartemenku. Jadi, semua itu dari Riga?
“Kamu nggak bercanda ‘kan, Ga?” tanyaku tak percaya.
“Kalau kamu nggak percaya, tanya aja sama ayah kamu.”
“Ayah?”
“Iya, ayah kamu.”
“Jadi ayah tahu semuanya?”
Riga mengangguk. Saat itu juga aku tertawa. Kenapa ayah tidak menceritakannya padaku? Kenapa ayah selalu pura-pura tidak tahu kalau aku menanyakan siapa sebenarnya yang selalu mengirim surat di bawah pintu apartemenku? Ya Allah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Semua ini di luar dugaanku.
Setelah berbicara tentang berbagai hal, dia mengajakku untuk makan malam bersama ayah. Namun aku menolaknya. Karena malam ini, aku dan ayah akan pergi ke suatu tempat.
“Kalau gitu, kamu mau nggak nemenin aku ke undangan pernikahan temanku?” ucapnya.
“Undangan pernikahan? Kamu mau ngajak aku ke sana?”
“Iya. Kenapa? Kalau keberatan sih nggak apa-apa.”
“Nggak. Boleh-boleh aja sih. Kapan?”
“Besok.”
“Besok?”
“Iya, besok. Kamu bisa?”
“Mmm… aku usahain deh.”
“Ya udah kalau gitu, aku pergi dulu, ya. Besok kita ketemuan di sini aja.”
“Oke.”
Ya Allah. Hari ini aku bertemu dengan Riga? Aku sungguh tidak percaya ini semua. Akhirnya aku bertemu dengan seseorang yang sangat aku kagumi sejak dulu. Aku sungguh tidak mempercayai ini semua. Sungguh.
Pagi ini aku berangkat pagi sekali. Aku takut jika Riga sudah menungguku di tempat yang sudah kami janjikan. Saat aku akan menyebrang ke tempat itu, tiba-tiba pandanganku menjadi buram. Penglihatanku jadi tidak stabil. Kulihat dari sebelah kananku ada sebuah mobil yang melaju sangat cepat. Saat itu juga semuanya gelap. Dan aku, tidak sadarkan diri.
Ujian hidup. Ya, saat ini aku sedang menjalani ujian hidup. Dokter memvonisku bahwa aku buta akibat tabrak lari itu. Dan sekarang, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Saat ini aku hanya bisa diam di apartemenku. Dan ayah, dialah satu-satunya motivatorku saat ini.
“Ana.”
“Iya, yah?”
“Ayah mau bicara sama kamu. Hari ini akan ada orang yang mengunjungi apartemen kita.”
“Mengunjungi kita, yah? Siapa?”
“Nanti kamu akan tahu. Sekarang kamu ganti baju yang rapi, ya.”
Siapa? Siapa yang akan mengunjungi aku dan ayah? Dan kenapa ayah menyuruhku untuk berpakaian rapi?
Setelah mengganti pakaianku, aku langsung menuju ke ruang tengah. Ayah menyuruhku untuk duduk di sana. Orang yang akan mengunjungi aku dan ayah, akan datang sebentar lagi, begitu kata ayah.
“Nah… akhirnya datang juga. Ayo masuk nak, Riga.”
Riga? Jadi, orang yang ingin bertemu aku dan ayah itu Riga?
“Assalamu’alaikum, Na. Bagaimana keadaan kamu?” sapa Riga kepadaku.
“Wa’alaikumsalam. Seperti inilah keadaan aku sekarang, Ga. Bagaimana kabar kamu? Maaf waktu itu aku nggak bisa nemenin ke acara undangan pernikahan teman kamu.”
“Alhamdulillah, kabar aku baik. Nggak apa-apa, Na. Aku ngerti kok. Maafin aku, Na. Gara-gara aku kamu jadi seperti ini.”
“Kok kamu ngomongnya gitu sih? Ini semua bukan salah kamu. Ini adalah ujian dari Allah untuk aku.”
“Apapun itu, aku minta maaf sama kamu. Dan tujuan utama aku ke sini adalah, melamar… kamu.”
“Me-la-mar?”
Aku memutuskan untuk menerima lamaran Riga. Bagaimana bisa aku menolaknya? Dia adalah seseorang yang sejak dulu aku kagumi. Ya Allah… aku sungguh tidak mempercayai ini semua. Riga melamarku. Seseorang yang sejak dulu aku kagumi akan menjadi bagian dari hidupku kelak. Bukan kelak. Tapi sebentar lagi. Ya, sebentar lagi. Karena kami sudah memutuskan untuk segera melangsungkan acara pernikahan.
Tepat pukul 09.00 WIB, akad pun dimulai. Kami melangsungkan acara pernikahan setelah satu bulan acara lamaran. Akad dilakukan di masjid yang berada dekat daerahku. Letaknya strategis. Begitupun bangunannya. Sangat luas. Memang, masjid ini sering dilakukan untuk akad. Selain bangunannya yang luas, halaman masjid itu pemandangannya sangat indah.
Riga mengucapkan ijab kobul dengan lancar. Alhamdulillah, acara pun berjalan dengan baik. Malamnya, kami melangsungkan resepsi pernikahan di sebuah gedung. Aku dan Riga mengundang teman-teman lama kami. Siapa lagi kalau bukan teman SMA? Namun, ada sebagian teman SMP juga yang kami undang.
“Aku nggak nyangka, ternyata kamu akhirnya bersanding di pelaminan dengan Riga. Selamat ya, Na.” ucap salah satu teman SMA kami, Raina. Mendengar itu, aku hanya tersenyum. Aku berpikir, bahwa aku adalah orang yang paling beruntung di dunia ini. Beruntung karena akhirnya seseorang yang sekarang menjadi bagian dalam hidupku adalah Riga.
Pagi ini, aku bangun lebih pagi. Hari ini, aku harus menyiapkan semua perlengkapan kantor seperti baju, tas dan yang lainnya yang akan dibawa oleh Riga. Meskipun mengalami sedikit kesulitan karena keadaanku yang seperti ini, namun aku tetap tidak menyerah demi Riga.
“Ana, kamu nggak perlu menyiapkan semua ini.” ucap Riga dari belakang sambil memelukku.
“Eh, kamu udah bangun? Nggak apa-apa kok.
Aku bisa mengurus semua ini.” jawabku seraya tersenyum kepadanya. Entahlah, aku tidak tahu apakah Riga melihat senyumanku atau tidak. Karena saat ini, Riga masih memelukku dari belakang.
“Kamu pernah bertanya sama aku. Kenapa aku ingin kamu menjadi istriku? Kamu masih ingat? Kamu menanyakan hal itu-“
“Kemarin.” potongku. Ya, aku memang pernah menanyakan tentang hal itu.
Kemarin, saat resepsi acara pernikahan kita, aku menanyakan hal itu.” lanjutku.
Riga melepaskan pelukannya. Kemudian ia membalikkan tubuhku.
Ia memegang jilbabku dan merapikannya seraya berkata, “Karena kamu, adalah yang aku inginkan dari dulu.”
Aku mengernyitkan kening, “Maksudnya?”
Kamu tahu? Setiap aku ada pertandingan futsal, aku tahu bahwa kamu selalu melihatku dari laboratorium Biologi.”
Aku terkejut mendengar hal itu. “Kamu kok bisa tahu?”
Ia merapikan jilbabku lagi, lalu berkata, “Aku tahu, Na. Aku sangat tahu.”
“Aku mau tanya satu hal lagi sama kamu. Kamu tahu ‘kan aku tidak bisa melihat? Kenapa kamu mau menjadikanku istrimu padahal keadaanku seperti ini?” tanyaku. Ya, aku memang sangat penasaran dengan hal itu.
Aku menjadikanmu sebagai istri, bukan karena keadaan fisik kamu. Mau kamu bisa melihat atau tidak, aku tetap ingin menjadi seseorang yang berarti di hidup kamu. Mungkin inilah yang namanya kehendak Allah.”
“Aku bersyukur, Ga. Karena saat ini, yang menjadi imam dalam hidupku adalah kamu.” ucapku.
“Bahkan aku. Aku sangat bersyukur karena saat ini kamu menjadi milikku. Oh iya, aku sampai lupa. Kamu harus tahu sesuatu ini.”
“Apa?” tanyaku.
Saat itu dia memelukku lagi, seraya berbisik, “Semalam dokter bilang, akhirnya kamu bisa melihat lagi.”
Aku bisa melihat lagi? Ya Allah, ini tidak mimpi ‘kan? Sungguh, aku masih tidak percaya semua ini. Terima kasih. Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah memberikanku kebahagiaan yang tak ternilai dan Engkau juga telah memberiku anugerah yang sangat indah. Riga. Ya, Riga. Kumohon, kebahagiaan kami tetaplah seperti ini. Sampai nanti. Sampai maut memisahkan kami berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar