unitedbet88

Minggu, 27 November 2016

CERITA CINTA - Janji Hingga Ke Tiang Nisan

Ar, kapan kau nikahiku?”

Selalu saja kalimat itu mengusik pikiran Arman. Ia terhenti dengan sejuta kalimat untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya kepada gadis itu. Lagi pula pria tersebut memiliki beban yang besar untuk membiayai kedua adiknya yang sedang duduk di bangku SLTA. Tentunya beban biayalah yang jadi penghambat Arman menikahi Raisa. Untuk menikahi gadis itu. Sang ibu tidak melarang keinginan Arman. Namun, ia tidak mungkin melakukannya. Mengingat adik-adiknya masih mengenyam pendidikan. Akibat cinta dan kondisi kehidupan, Arman terpaksa mencari penghasilan besar agar semuanya terpenuhi. Niat hati pun tergerak untuk mengadu nasib ke negeri orang. Di sana Arman bekerja menjadi seorang salesmen. Penghasilannya lumayan besar. Namun butuh waktu yang panjang untuknya mengumpulkan jumlah uang yang diinginkan.




















Waktu terus berjalan tampa henti. Raisa sabar menunggu perjuangan sang kekasih. Walaupun sang ibu mendesak putri semata wayangnya untuk menikah dengan pria lain. Bagi gadis itu cinta dan niatnya sudah bulat hanya untuk Arman. Sehingga berkali-kali ia menolak permintaan dari ibunda. Malapetaka menimpa Arman. Ia harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk mengobati sang ibu. Wanita 56 tahun itu diserang gangguan pada paru-paru. Demi orang yang telah berjuang membesarkannya, pria itu pun merogoh sakunya demi kesembuhan sang ibu. Akibatnya niat untuk menikah Raisa harus terulurkan lagi.

Ar, kapan kau nikahiku

Kalimat itu menikam kembali pikirannya. Saat itulah ia tak bernada sama sekali untuk menjelaskan keadaan yang telah terjadi. Suatu ketika Arman berpikir keras untuk melunasi janjinya untuk menikahi gadis itu. Mengingat usia pacaran mereka sudah berlangsung lama. Namun pria itu tidak bisa berkilah sama sekali untuk menikahinya. Akhirnya Raisa tak memiliki pilihan lain. Ia harus menikah dengan pria idaman sang ibu. 

Keputusan yang diambil oleh gadis itu pun membuat Arman merasa bersedih hati. Pernikahan pun berlangsung di awal januari. Banyak orang yang berdatangan untuk memberi doa dan ucapan buat Raisa dan Bastian. Ada juga membawa bingkisan.

Tumpukan kado tersebut tidak terusik sama sekali setelah pesta pernikahannya. Karena terlihat begitu merusak pandangan mata, akhirnya gadis itu pun membuka setiap bungkusan kado. Di antara banyak bingkisan. Ada setangkai mawar plastik. Bunga itu terikat bersama amplop putih yang berisi selembar surat. Karena penasaran dengan isi surat tersebut. 

Raisa membacanya dengan seksama.. Kalimat surat itu tidaklah begitu panjang. Hanya bertuliskan, “Selamat menempuh hidup baru, Raisa aku janji tidak akan menikah dengan gadis lain. Demi melunasi janji yang tidak pernah ku tepati dan juga sebagai bukti kesetiaanku.”

Ia hampir terlupa dengan sosok Arman. Seolah lembaran kertas putih itu mengingatkannya kepadanya sosok pria tersebut. Terkilas memori masa lalunya berputar kembali. Mengenang waktu bersama dengan sang mantan agar ia menjadi istri yang baik. Raisa berusaha untuk tidak terusik dengan kesetiaan Arman. Ia tetap berusaha menjaga perasaan suami dari masa lalunya. Dua tahun usia pernikahan Raisa dengan Bastian. 

Selama itu pula mereka belum dikarunia oleh seorang anak. Siang dan malam keduanya selalu menyertakannya dalam doa. Agar secepatnya bisa dikarunia buah hati. Akhirnya permintaan tersebut terkabul. Kini wanita itu memasuki usia hamil tua. Keduanya terlihat bahagia. Apalagi anak di dalam rahimnya adalah anak pertama setelah pernikahan mereka.

Waktu persalinan semakin dekat. Banyak hal yang sudah persiapkan. Baik dari perlengkapan bayi maupun peralatan untuk keperluan persalinan nanti. Ruangan rumah sakit penuh sesak dengan para pengunjung. Mereka berusaha melihat sosok tubuh yang terkulai lemas dan tak bernyawa. 

Di sudut tempat tidur pasien, seorang wanita dengan perut membengkak menangis tersedu-sedu. Ia merasa tak percaya dengan malapetaka yang menimpa jasad yang tak ada lagi tanda kehidupan. Dokter pun menjelaskan kepada keluarga kalau Bastian meninggal akibat serangan jantung. Penyakit tersebut memang sudah mengidapnya selama kurang lebih tujuh tahun yang lalu. Namun keluhan tersebut tak pernah diceritakannya kepada Raisa.

Kini hari-harinya menjadi sepi. Kematian sang suami menggoreskan tinta hitam bagi kehidupan Raisa. Lembaran diari tertulis kisah pahit sejak kematian sang suami. Memang siapa saja tak menginginkan kematian yang instan. Tapi Tuhan bercerita lewat kisah-Nya sendiri. Siapa saja tidak bisa melawan takdir. Kematian hanya menjadi simbol tidak kekekalan sebuah kehidupan. Rasa nyeri semakin terasa. Tibalah waktunya Raisa untuk bersalin. Malam itu juga ambulans langsung datang menjemputnya. 

Suara mobil tersebut menampar setiap sisi jalan. Kecepatannya berpacu dengan kencang, seirama rasa perih di bagian perut. Proses persalinan berjalan lamban. Selain itu rasa sakit mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Raisa berusaha tegar dalam kondisi tersebut. Meski tanpa suami, sang ibu setia berada di samping anak semata wayangnya itu.

Raisa mengalami pendarahan saat proses persalinan. Akibatnya bayi yang dilahirkan itu pun harus kehilangan nyawa. Kali ini ia benar-benar kehilangan harapan. Tak sampai di situ saja kesedihan yang ia terima. Namun kelumpuhan yang dideritanya juga menjadi babak penderitaan baru baginya. Senja kian menyingsing dengan cepat. 

Langit sore memancarkan warna kemerahan. Tertunduk lesu seorang gadis di atas kursi roda. Ia duduk mengarah ke ufuk barat. Sambil menyaksikan mentari berpamitan. Matanya lebam menangis seharian.

“Ras, yang sabar ya Nak. Kamu jangan banyak mikir kasihan dengan kondisi tubuhmu yang semakin lemah.” suara sang ibu mendayu lembut. Menyapa gendang telinganya. Namun beningan embun menitik tanpa henti. Bibirnya tetap membisu tanpa ada kata yang merangkai. Selama setahun Raisa sabar dengan kondisinya. 

Ketabahan selalu berusaha ia lukis dengan tinta keikhlasan. Ia berusaha tersenyum dengan air mata yang mengurai. Sekali pun banyangan sang suami mengusik pikirannya di setiap saat. Terkadang matanya terbungkus dengan beningan embun. Ketika ia melihat tetangganya yang lewat di depan teras rumah menggendong momongan. Namun ia harus bisa belajar dari semuanya hikmah yang ia terima.

Pagi itu datanglah seorang tamu yang tidak asing lagi bagi Raisa. Dia adalah Arman, pria yang pernah singgah di hatinya. Kedatangannya membuat gadis itu bisa meluap kerinduannya. Setelah beberapa tahun mereka tidak bertemu. Kabar tentang kematian suaminya sudah lama didengar oleh Arman. Hanya saja ia tak sempat untuk menjenguk. Berhubung pria itu berada di luar kota. Hampir tiap hari Arman datang menemani Raisa. Keduanya berjalan mengitari halaman rumah. Di sana juga mereka banyak menghabiskan waktu bersama.

Suatu ketika kedatangan Arman berbeda dengan sebelumnya. Ia terlihat tampan dan penampilannya terlihat sedikit rapi. Bukan saja Raisa namun ibundanya juga mengalami keheranan. “Raisa di hadapan Ibumu, maukah kau ku nikahi? Aku tak banyak uang untuk melakukannya. Tapi aku punya satu kesetiaan dan kesiapan untuk memeliharamu. 

Tanpa memperhitungkan kondisi fisikmu seperti apa.” Air matanya menetes dan menatap tajam ke arah mawar merah yang disodorkan oleh Arman. Sang ibu merangkul putrinya. Seolah ia menyesal telah menjodohkan anaknya dengan pria lain. Hanya karena uang yang menjadi persoalan cinta mereka waktu itu.

Keduanya pun sepakat untuk mempertemukan keluarganya masing-masing. Hasil pertemuan itu pun memberikan lampu hijau untuk Arman dan Raisa. Akhirnya mereka sepakat untuk menikah bulan depan. Kabar pernikahan itu mulai tersiar. Banyak yang beranggapan bahwa Arman adalah pria yang bodoh. Padahal masih banyak wanita yang sempurna untuk dinikahinya. 

Di sisi lain ada juga yang memuji pria itu atas kesetiaan memilih Raisa menjadi istrinya. Bagi Arman kekurangan gadis yang hendak dinikahinya itu adalah kesempurnaan untuknya. Oleh karenanya, ia tidak ingin ocehan dari kalangan orang menjadi penghalang ketulusan cintanya.

Semenjak saat itu. Arman terlihat tabah dan setia menjaga Raisa. Bahkan dari bibir pria itu tidak terdengar keluh kesah. Oleh karenaya tidak heran banyak yang iri dengan gadis malang itu. Satu minggu lagi mereka akan segera menikah. Pesta yang telah mereka rencanakan tidak begitu mewah. Rasa bahagia mulai menyelimuti wajah Arman. 

Tak habis-habis ia bersyukur kalau ia bisa melunasi janjinya untuk menikahi Raisa. Walaupun gadis itu tidaklah sempurna secara fisik seperti awal pacaran mereka dulu. Lain hal dengan gadis itu. Menjelang detik-detik pernikahan ia terlihat murung. Sesekali ia menitikkan air matanya. Awalnya ia berusaha menyembunyikan itu kehadapan Arman. Namun keganjilan itu pun diketahui sang kekasih.

“Sayang, ada apa? Bukankah seharusnya kau bergembira jelang pernikahan kita?” Kedua tangannya menggenggam erat tangannya, “Apakah aku tidak cukup baik buatmu?”
“Tidak. Kau adalah pria yang baik yang pernah aku jumpa di perut bumi ini. Aku baik-baik saja. Aku bahagia dengan hadirnya sosok dirimu.” Sahut Raisa sambil menggelengkan kepalanya. “Kalau begitu, jangan kau bersedih lagi. Sebentar lagi kita akan menyambut hari bahagia.” tutup Arman.

Sore itu Raisa dan Arman sedang duduk menatap perkarangan rumah. Keduanya saling bertatapan dengan tajam. Saat itu mereka tersenyum kecil dan sambil melepaskan tawa. “Sayang. Pernikahan kita tinggal dua hari lagi. Ada satu hal yang aku minta darimu.” pinta gadis itu. “Katakan saja. Akan ku penuhi permintaanmu.” balas Arman. “Besok bawaklah aku ke atas bukit. Aku ingin bersamamu melihat mentari senja.” Sahutnya. “Kalau hanya itu akan ku turuti.” sambil mendekati bibirnya di atas kening Raisa, “Kalau begitu izinkan bibirku memiliki dahimu.”
“Kau terlalu Romantis Arman.” tutup gadis itu. Keduanya saling tertawa kecil.

Sore itu Arman menuruti permintaan sang kekasih. Keduanya berjalan ke arah barat. Di sana terdapat bukit yang tidak terlalu tinggi. “Sayang, bisakah kau mengendongku?” tanyanya sambil mengarahkan tatapan ke arah Arman.
Akhirnya Arman mengamini permintaan Raisa. Di sana mereka menyaksikan mentari yang sedang mengukir langit sore dengan tinta kemerahan. “Aku bahagia bisa di atas bukit ini dan bisa menatap langit sore bersama dengan orang yang aku cintai.” bisik Raisa kepada Arman. “Aku juga merasakan hal yang sama.” Matanya menatap ke arah wajah gadis itu.

Perlahan-lahan Raisa menutup matanya. Seketika itu ia meninggalkan sisa senyumannya. Tanpa disadari wanita menghembuskan napasnya untuk terahkir kalinya. Jiwanya pergi bersama dengan mentari yang sedang berpamitan di pangkuan bumi. Detak jantungnya lenyap dalam pelukan pria itu. Tangisan pria itu begitu histris di puncak bukit. 

Menggelegar ke sudut bumi. Jasad Raisa diautopsi. Dokter memvoniskan kalau gadis itu mengalami infeksi di bagian rahimnya beberapa hari yang lalu. Akibat persalinan anak pertamanya dari Bastian.

Barulah Arman menyadari perubahan mimik wajah gadis itu ketika menjelang pernikahan mereka. Kalau gadis itu mengalami penurunan kesehatan fisik. Hanya saja Raisa tidak ingin banyak merepotkan orang di sekitarnya. Kali ini Arman tidak bisa memiliki Raisa sepenuhnya. Mimpinya hilang bersama sejuta harapan. Ia terbungkam dengan satu pilihan. Yakni untuk tidak menikah dengan wanita lain.

“Raisa aku memilih untuk tidak akan menikah sampai mati. Di tiang nisan inilah ku kuburkan janjiku itu.” Simpuhnya di bawah tiang nisan gadis itu sambil bercucuran air mata.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar