Hana terdiam mendengar pengakuan itu. Butuh waktu baginya untuk menjawab pernyataan itu.
Besok saja kujawab. Sampai jumpa, katanya yang kemudian berlalu pergi.
Ucapannya membuat laki-laki bernama Elang ini tertegun sejenak. Biasanya, semua gadis akan segera menjawab ‘ya’ sambil tersenyum riang. Dia berbeda. Dia malah diam seolah tak peduli dan baru akan menjawab besok. Harga dirinya terasa jatuh saat itu.
Esoknya, Hana menemui Elang. Tak sulit menemui laki-laki ini karena dialah yang sering terlihat paling mencolok di antara semua lelaki di kampusnya. Bagaimana tidak? Tubuh yang tegap dengan wajah unik bak artis papan atas ini membuat perhatian seluruh gadis di kampus tertuju padanya. Tak peduli mereka sudah memiliki pasangan atau belum, wajah Elang selalu saja mengundang lirikan para gadis yang melebihi batas normal. Hana sendiri mengakui keelokan paras laki-laki ini, tetapi hanya sebatas mengakui, bukan menyukai.
Tak berapa lama, Hana menemukan Elang sedang dikelilingi para gadis. Dia lewat saja dan berhenti sebentar di depan kelompok itu. Segera setelah mata mereka berpapasan, Hana berjalan menjauh menuju ruang serbaguna. Dia sengaja memilih tempat itu untuk memberikan jawaban yang sudah dipikirkannya semalam. Tak lama kemudian, dia masuk ke ruangan itu diikuti Elang. Kemudian, mereka duduk di kursi, berhadapan.
Aku sudah memikirkan hal ini tadi malam, katanya memulai percakapan.
Harusnya kau tak perlu memikirkannya, gerutu Elang dalam hati.
Lalu, bagaimana jawabanmu? tanyanya menyembunyikan rasa sebalnya.
Baiklah, aku bersedia jadi kekasihmu.
Nah, kena kau. Kenapa tidak dari kemarin bilang begitu. Pada akhirnya, kau sama saja dengan gadis-gadis lainnya, pikirnya sambil mengeluarkan senyum puas.
Tapi… ada syarat yang perlu kau tahu.
Syarat?
Hana tersenyum. Selama kita pacaran, kamu boleh pacaran dengan gadis mana pun, berapa pun. Aku tidak melarangmu.
Hah? Sekarang Elang kaget mendengarnya.
Juga… aku akan memberimu nomor handphoneku. Kamu boleh menghubungiku kapan saja selain hari Minggu. Aku selalu sibuk di hari itu, Hana bicara terus tanpa menghiraukan reaksi Elang. ”Oh, iya. Batasan kita berpacaran hanya sampai bergandengan tangan. Lalu, nanti kita akan sangat jarang bertemu karena kesibukanku. Jadi, aku rasa syarat ini cukup fair untukmu. Bagaimana?
Pertanyaan Hana segera membuyarkan keterkejutan Elang. Dia bingung menghadapi hal ini. Bagaimana mungkin dia memberikan syarat yang menguntungkan pihak lelaki? Bukankah seharusnya dia menyuruhku tidak bermain-main dengan gadis lain? Atau kalau tidak, menyuruhku minta maaf kepada gadis-gadis yang pernah kupermainkan? Seharusnya begitu, kan? Benak Elang bertanya-tanya, tak percaya dengan pendengarannya.
Lang. Halo… kau mendengarkanku? Kau masih di sini, kan?” tanya Hana begitu melihat Elang diam terpaku, khawatir Elang tidak menyimak percakapan mereka.
Oh, baiklah kalau itu maumu. Jawaban itu keluar begitu saja dari mulut Elang. Entah dia bingung atau heran, tapi dia tidak mau terlihat seperti itu terutama di depan perempuan.
Sip. Kita sepakat. Kalau begitu, sampai jumpa lagi.
Siang itu, di kantin terlihat segerombolan mahasiswa sedang berkumpul dengan Elang sebagai pusatnya. Dia tampak sedang membawa telepon genggam di tangannya dengan senyuman puas yang diperlihatkan pada teman-temannya. Kemudian, telepon itu ditaruh di atas meja makan diikuti pandangan kelompok kecil itu.
Baiklah, aku bersedia jadi kekasihmu. Suara gadis yang berasal dari telepon genggam itu terputus dibarengi dengan senyum kemenangan Elang. Terdengar suara kekalahan dari teman-teman Elang. Dengan segera, tangan Elang dipenuhi dengan uang seratus ribuan. Sambil memandang uang hasil taruhan yang kini jadi miliknya, Elang tersenyum puas. Di benaknya terbayang hal-hal apa saja yang akan dilakukannya dengan uang itu.
Tak kusangka, Hana ternyata juga tertarik padamu, kata Husni, seorang kawan yang bertaruh satu juta untuk kegagalan Elang. “Kupikir dia akan menolakmu. Dalam waktu singkat saja dia sudah jatuh ke pelukanmu. Sebenarnya kau pakai pelet apa Lang, sampai-sampai gadis pendiam seperti Hana pun tidak bisa mengelak dari pesonamu.”
Elang tertawa renyah mendengar perkataan Husni. Apalagi yang lain juga mengiyakan ucapannya. Semua gadis itu pada dasarnya sama. Beri mereka perhatian, tapi jangan berlebihan. Beri mereka pujian dan hadiah. Rugi sedikit tak apa-apa. Nanti kalian akan lihat bagaimana para gadis kelabakan dengan sikap itu.
Bah, kalau mukaku ini seperti muka kau, aku yakin solusimu itu tepat. Tapi kalau mukaku macam gangster seperti ini, kuberi mereka perhatian, lari ketakutanlah mereka karena mereka kira akan kupalak,” protes Bakri diiringi suara tawa para laki-laki di sekelilingnya.
Hei, Bakri. Mukamu boleh seperti gangster, tapi uang dua jutamu ini bisa membantumu mendapat gadis yang kau inginkan. Ingat itu,” kata Elang sambil menunjukkan uang taruhan yang dia dapat dari Bakri.
Begitulah pekerjaan Elang sehari-harinya. Bersama teman-temannya, mereka selalu bertaruh untuk seorang gadis. Apakah Elang sanggup menaklukkan gadis yang dijadikan taruhan atau tidak? Hasilnya selalu saja Elang yang menang. Kali ini pun dia menang telak dengan total uang tertinggi selama ini. Rupanya teman-temannya menganggap Hana terlalu sulit untuk ditaklukkan.
Meskipun awalnya hanya permainan, kebiasaan bertaruh itu sedikit banyak memberi kenikmatan tersendiri bagi Elang. Dia menikmatinya ketika pacar taruhannya marah dan mencaci makinya, kemudian menampar pipinya begitu tahu bahwa dia dijadikan taruhan. Sudah berapa banyak gadis yang menjadi korban taruhannya? Dia berpikir sejenak.
Sejak tiga tahun lalu, tepatnya sejak kelas 2 SMU, berarti sekitar sepuluh, dua puluh, tiga puluh… rasanya sudah tidak bisa dihitung. Ekspresi kemarahan gadis-gadis itu masih tergambar jelas di pikirannya. Tamparan atau pukulan menandakan berakhirnya hubungan mereka. Hana pastinya juga tak berbeda dengan mereka, pikirnya. Cukup dengan membiarkan Hana tahu tentang pertaruhan ini, hubungan mereka akan berakhir.
Sebetulnya, dalam hati, Elang merasa Hana berbeda dari gadis-gadis yang selama ini dia permainkan. Hana boleh pendiam, tetapi ada sesuatu yang lain pada diri Hana yang tak sanggup diterjemahkannya. Elang memiliki firasat tak baik tentang gadis ini dan ingin segera mengakhiri semuanya. Toh, uang taruhan sudah ia dapatkan.
Dia teringat lagi dengan kejadian beberapa hari lalu, saat terakhir kali menjumpai Hana, tentang syarat yang diajukan Hana. Sekali lagi, firasat tidak enak diikuti perasaan aneh mulai mengusik hatinya. Namun, hatinya lebih terusik lagi ketika melihat sosok gadis di seberang meja tempat Elang berkumpul dengan kelompoknya.
Awalnya pandangan Elang tertutup oleh kepala-kepala yang ingin mendengar rekaman suara sebagai bukti memenangkan pertaruhan. Tapi kini, begitu teman-temannya duduk kembali di kursi, sosok itu terlihat sangat jelas. Dia tersenyum tenang ke arah Elang. Bisa dipastikan dia telah mendengar semua aksi Elang. Tapi, mengapa Hana tidak segera marah?
Hei, Lang. Lama menunggu? Hana berdiri di samping mobil Elang dengan gaun birunya yang membuatnya tampak anggun. Riasan natural membuatnya terlihat cantik dan elegan. Kejutan kecil ini sanggup membuat jantung Elang berhenti sejenak dan membeku di depan setir mobilnya. Matanya tak lepas dari Hana.
Kalau ternyata aku salah kostum, aku akan kembali sepuluh menit lagi dengan baju yang lain. Rupanya, sikap dan tatapan Elang itu membuat Hana merasa tak nyaman. Sebelum Hana berbalik, Elang segera keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuknya.
Makan malam itu diwarnai dengan celoteh Hana dan candaan Elang. Mereka berbagi cerita sambil menyantap menu utama restoran yang sedap. Suapan awal hingga akhir terasa amat sangat cepat bagi Elang. Dia ingin memesan makanan lagi, tetapi dibatalkannya karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Empat jam mereka di sana dan Elang merasa kurang. Elang masih ingin mendengarkan cerita-cerita Hana. Dia story teller yang bagus.
Teman-temannya salah, Elang menyimpulkan. Hana bukan gadis pendiam. Lebih tepat jika disebut gadis yang penuh waspada. Dia kuat dan mandiri. Dia tidak manja, tidak menginginkan perhatian laki-laki. Kepribadiannya bertolak belakang dengan Elang, tetapi selera humor mereka kurang lebih sama. Samar-samar, Elang merasakan seolah ada yang menggenapi bagian dari dirinya yang hilang.
Lang. Suara jernih itu memanggilnya. Sudah jam sebelas. Kita pulang, ya.
Siap, Nona. Mari saya antarkan pulang, ucap Elang sambil mengulurkan tangannya, bersikap seperti seorang pelayan yang tengah melayani putri raja. Hana tertawa melihat aksi Elang yang menurutnya lucu.
Itulah pertama kalinya Elang mengajak Hana keluar untuk makan malam. Sejak itu, sehari, seminggu, sebulan, bahkan selama beberapa bulan setelahnya, Elang tidak bertemu dengan Hana. Awalnya, Elang tidak begitu ambil pusing dengan absennya Hana. Dia kembali berkumpul dengan teman-temannya dan mulai mencari target baru. Dalam waktu singkat, Elang menepis ingatan tentang malam itu. Ia menikmati permainan barunya.
Beberapa gadis telah membuat kantong Elang penuh dengan uang taruhan. Akan tetapi, Elang merasa tidak sesenang sebelumnya. Lalu, dia mulai membanding-bandingkan gadis-gadis taruhannya dengan Hana. Hana lebih begini, Hana lebih begitu. Namun, sekali lagi ia menepis pikiran itu. Kemudian, dia mengencani perempuan-perempuan di kampusnya, lebih banyak dari sebelumnya.
Suatu hari, Elang sedang jalan dengan Rina, salah satu gadisnya. Setelah sekian lama tak bertemu, di mall itu mereka bertemu. Hana melambaikan tangan sambil memamerkan senyum khasnya pada Elang. Melihat itu, Elang langsung pergi menjauh diikuti Rina yang kebingungan. Entah mengapa, Elang merasa bersalah.
Sekali lagi, Elang melihat Hana tersenyum padanya saat Elang tengah memeluk pundak Sophie. Tanpa sadar, dia melepaskan tangannya dari pundak Sophie, lalu menghindari tatapan Hana. Lagi-lagi, dia merasa bersalah. Pernah suatu kali, Elang melihat Hana sedang bercengkerama dengan seorang laki-laki. Tawa Hana sama seperti malam itu. Entah kenapa, Elang tidak suka melihatnya. Begitu mata mereka bertemu, Elang berjalan pergi.
Sejak hari itu, Elang berubah sikap. Dia tak mau lagi diajak bertaruh oleh teman-temannya. Dia justru sebisa mungkin menghindari para gadis. Teman-temannya bingung melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu. Tidak ada yang tahu kalau Elang selalu ingin menelepon Hana, tetapi dia tidak berani. Hingga suatu saat, mereka bertabrakan, Elang dan Hana, di salah satu sudut koridor kampus.
Hana?
Hei, Lang. Apa kabar? sapa Hana sambil tersenyum. Segera, tanpa diketahui Hana, sesuatu bergejolak di hati Elang.
Seolah takdir belum puas mempertemukan Elang dan Hana. Secara kebetulan, mereka bertemu di antrian tiket bioskop.
Lho, Lang. Kamu mau nonton juga? tanya Hana ringan.
Sebelum Elang sempat menjawab, seorang gadis menyeruak di antara mereka dan menggaet lengan Elang. Hei, kamu! Aku sudah pernah memperingatkanmu. Jangan dekati Elang! Sekarang kami pacaran. Belum paham? bentak Rina.
Dengan santai, Hana menaikkan kedua pundaknya dan segera melenggang pergi.
Sikap macam apa itu? gerutu Rina yang kemudian mengajak Elang masuk ke gedung bioskop.
Apa maksudmu, Rin? Kamu pernah bicara dengan Hana?
Aku melihat kalian keluar dari restoran. Aku tidak suka melihatnya. Jadi, besoknya aku memperingatkan dia supaya jangan menemuimu lagi. Aku tahu kalau dia salah satu gadis taruhanmu.
Kau juga gadis taruhanku.
Tapi aku berbeda, Lang. Aku mencintaimu sekalipun kau cuma menjadikanku taruhan. Aku menerima sikapmu itu. Kamu boleh berpacaran dengan siapa saja, tapi… jadikan aku kekasihmu yang sejati. Aku ingin bersamamu selamanya, Lang. Sejenak, perkataan Rina membius Elang. Ucapan yang sama dengan Hana, tetapi terasa berbeda. Hatinya tidak tergetar sedikit pun.
Elang tak bisa fokus lagi mendengar suara Rina. Pikirannya tertuju hanya pada Hana. Sesuatu bergemuruh di dadanya. Serta-merta dia berlari meninggalkan Rina di pintu masuk bioskop. Dia tak mempedulikan panggilan, teriakan, dan umpatan Rina yang ditujukan padanya. Dia hanya ingin bertemu dengan Hana. Dia tak peduli lagi dengan rasa pegal dan lelah yang menjalar di kakinya. Dia terus berlari sambil mencari sosok Hana di antara kerumunan orang yang sedang mengantri. Beberapa kali ia sempat salah menarik orang.
Dia hampir putus asa mencari Hana, sampai dia melihat seorang gadis sedang berjalan menuju pintu keluar. Gadis itu mengusap matanya, seperti habis menangis. Elang tidak memanggilnya. Tubuhnya bergerak tanpa diperintah. Dia mengenal gadis itu. Tanpa aba-aba, Elang menyambar lengan gadis itu. Hana kaget dibuatnya.
Lang? Kenapa di sini? Tidak jadi nonton?
Elang perlu mengatur nafasnya sebelum menjawab. Hana terlihat bingung dengan sikap Elang. Kamu baik-baik saja, kan?
Elang masih terengah-engah. Keluar dulu, yuk, ajak Hana. Mereka keluar gedung bioskop, disambut tiupan angin malam yang dingin. Mereka berjalan sebentar sampai menemukan bangku kosong dan duduk di situ.
Aku ingin bertemu denganmu, kata Elang setelah berhasil mengatur nafasnya.
Kamu ini ada-ada saja, Lang. Harusnya kamu telepon. Aku pasti akan menunggumu. Kamu tidak perlu lari-lari seperti tadi.
Ucapan Hana benar, tetapi Elang tidak tahu apa yang membuatnya berbuat begitu. Tadi, dalam pikirannya hanya ada Hana, Hana, dan Hana. Sekarang setelah gadis itu ada di hadapannya, dia malah bingung harus berbuat apa. Dia merasa seperti orang bodoh.
Hana.
Hm?
Kita masih pacaran, kan?
Pertanyaan aneh. Apa aku pernah bilang putus?
Elang menggelengkan kepalanya diikuti senyuman Hana.
Berarti kita masih pacaran.
Kenapa kamu tidak cemburu sewaktu aku jalan dengan Tari, Sophie, Ninda, Rina, dan semua gadis lainnya? Kenapa kamu tenang-tenang saja melihatku jalan dengan mereka?” Elang bertanya seolah tak puas dengan jawaban Hana.
Aku tidak akan cemburu hanya karena masalah itu. Toh, kita sudah ada perjanjian sejak awal. Kamu boleh berpacaran dengan perempuan mana saja selain denganku.”
Aku tidak mengerti.
Apanya yang tidak kamu mengerti?
Kamu tahu tentang taruhan itu, tapi kamu juga tidak marah.
Aku juga takkan marah karena hal sepele begitu.
Kenapa? Hening sejenak. Hana tampak enggan sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Elang.
Karena pada akhirnya, kamu harus memilih salah satu gadis. Pada akhirnya kamu pasti akan mengakhiri permainanmu itu, dan menentukan satu orang yang akan kamu dampingi. Pada akhirnya, aku yakin kamu akan memilihku, apalagi sejak makan malam itu. Makannya aku tidak marah apalagi cemburu.
Jawaban yang percaya diri dan mantap itu telah membuat Elang tak bisa lagi berkata-kata. Dia seolah telah terjerat dalam perangkap dan tak mungkin lagi lepas. Gadis ini berbahaya, pikirnya. Dia mampu menjerat hatiku sehingga tak mungkin lagi bagiku untuk mencintai gadis lain.
Pulang, yuk, ajak Hana mengulurkan tangan, memberi kesempatan pada Elang untuk menggandengnya. Batasan kita pacaran cuma pegangan tangan. Tidak lebih. Ingat, kan?
Elang meraih tangan Hana. Perasaan nyaman menjalar di hatinya. Dia sadar, dia butuh Hana. Dalam perjalanan pulang, diam-diam Elang berjanji pada dirinya sendiri untuk meminta maaf pada semua perempuan yang pernah ia permainkan. Dia juga berjanji akan mengembalikan uang taruhan pada teman-teman SMU dulu dan teman di kampus. Ah, betapa susahnya itu nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar