Jumat, 02 Desember 2016
CERITA CINTA - Cinta Sepeda Ontel
Dahulu kakek pernah bercerita mengenai sejarah sepeda ontel miliknya kepadaku. Tentang bagaimana beliau menggapai impiannya dengan mengayuh sepeda setiap hari menuju sekolah yang jaraknya berkilo-kilo meter, tetapi walau demikian semangatnya tidak pernah pudar akan apa yang harus dia tuju.
“sepeda ontel itu adalah jiwa kakek, tidak ada bandinganya dengan apa yang telah kakek miliki hingga saat ini, jasa yang telah dia berikan begitu besar”. Kakek berkata dengan nada yang terdengar bangga.
Disaat renta usianya beliau tidak pernah terlihat ataupun terdengar menjengkelkan, dengan sejuta semangat yang dimiliki olehnya. Sisa-sisa kekuatan masa muda yang masih tersimpan. Walau tubuhnya yang kini telah menjadi kurus itu terbaring lemah di atas ranjang putih milik rumah sakit, beserta setiap peralatan yang terpasang pada tubuh kakek.
Senyum semangat yang dia miliki selalu terukir indah terpancar tanpa adanya tanda-tanda untuk memudar. Matanya yang sudah nampak lelah itu menatapi langit-langit kamar: membosankan tapi itulah hal yang kakek lakukan.
Dia menarik nafas panjang lalu walau tidak jelas kakek kembali bercerita perihal jasa dari sepeda ontelnya yang antik.
“Dia juga yang mempertemukan kakek dengan cinta pertama, tuhan mengirimkan wanita terindah melalui sepeda yang kakek miliki. Walau kami tak sampai dapat bersama, tapi menurut kakek dialah cinta sejati”
Aku membungkuk dengan tujuan untuk mempermudah kakek bercerita kepadaku, merendahkan letak posisi duduk dan mendekatkan telinga ini karena suara parau kakek mulai terdengar dengan samar. Dengan gerakan pelan, pandangan mata kakek beralih kepadaku.
Tangan ini tak kuasa untuk menggenggam tangan kakek yang terasa hanya tulang berbungkus kulit itu, hatiku mencelos. Sedih dan miris itulah hal yang kurasakan, akan tetapi tatapan mata kakek tidak memiliki raut kesedihan untuk minta dikasihani. Dia memintaku untuk tegar dan memperlakukannya seperti biasa adanya.
“Kau tahu, kau mirip denganya”. Kakek kembali berbicara “Kau cantik, kau pintar, kau keras kepala”. Kakek tersenyum ketika dia mengatakan hal itu kepadaku, cucunya sendiri.
“Betapa aku mencintainya, hingga saat ini. Bahkan aku masih sangat ingat bagaimana aroma tubuhnya, dan masih sangat ingat bagaimana tangan rampingnya merangkul pinggang kurus ini dari balik boncengan.
Aku membawanya ke danau, di sana luas dan indah. Tempat cinta kami bersemi”
Matanya itu kini berbinar, dia masih sehat dalam akalnya. Ingatanya masih begitu tajam akan cinta pertamanya bahkan beliau masih begitu hafal akan aroma tubuh dari wanita di masa mudanya dulu. Mungkinkah, nenek?
Nenek pasti akan sangat bahagia dicintai begitu besar oleh kakek”
“Nenekmu?”. Dia tampak terkejut. “Bukankah aku telah berbicara jika cinta sejati itu tidak dapat bersama. Aku dan gadis itu mungkin tidak berjodoh di dunia ini”
Aku tertegun sendiri. Ternyata beliau yang dicintai kakek bukanlah nenek, tapi bukankah pasangan suami istri itu tampak begitu harmonis seperti yang diperlihatkan selama ini sebelum pada akhirnya mereka memang memutuskan untuk berpisah. Tapi apa yang kudengar dari ayah ataupun ibu, nenek dan kakek adalah pasangan harmonis yang patut diteladani olehku kelak. Maka mengapa sekarang kakek malah bercerita mengenai orang lain? jujur, disaat umurnya yang renta begini aku justru tidak mengerti.
“Aku tidak pernah mencintai nenekmu seumur hidupku, itulah penyesalan terbesarku. Walau begitu besar cinta yang dia berikan kepadaku, hati ini masih saja sekeras batu”. Kakek diam sejenak. “Hanya satu yang dapat membuat kamu bertahan, ketulusan hatinya”. Lanjut kakek.
Diam.
Begitu seksama dan sabar aku menunggu kakek untuk melanjutkan ceritanya. Terdapat jeda yang begitu lama ketika dia ingin kembali mengeluarkan suara. Aku terdiam dan tersenyum, sunggingan berwujud begitu tulus di bibir mungil ini. Semua ini demi kakek, dan aku tidak boleh terlihat tampak bosan atau jenuh untuk mendengarkan lanjutan ceritanya kemudian.
“Tak sampai hati aku menceraikanya, namun titik puncak dimana dia merasa telah benar-benar lelah menjawab semuanya. Kami berpisah disaat anak-anak telah dewasa dan berumah tangga”
Yah, itulah yang kuceritakan tadi. Kakek dan nenek memang telah lama berpisah kini. Disaat masa kritisnya nenek yang berbeda 10 tahun dari kakek tidak nampak untuk menemani masa kritis kakek, jadi begitu alasanya. Keluarga harmonis itu hanyalah topeng yang pasti menyakitkan hati seorang wanita, siapapun itu. Kakek kini telah menjadi pria tua kesepian, seorang pesakitan yang terbaring lemah di atas tempat tidur, selama kakek di rumah sakit sekalipun nenek tidak pernah datang untuk sekedar menjenguknya.
Hanya kedua orangtuaku, bersama tante luna serta suaminya om rio, dan tentu saja aku, cucu pertama kakek.
Setelah perpisahan yang terjadi di antara keduanya kakek memilih untuk meninggalkan harta yang dia miliki kepada nenek dan kedua anaknya. Beliau kemudian memutuskan untuk hidup di perkampungan dipenuhi sawah dengan rumah berupa layaknya gubuk hanya untuk satu orang. Tidak ada yang dapat menyangka jika kakek adalah mantan direktur sebuah perusahaan matrial terkenal di kota ini.
Di kampung itu kakek hanya seorang petani yang setiap pagi berangkat ke sawah menggunakan sepeda ontel tua miliknya.
“Kenapa kek?”. Aku bertanya dengan sangat hati-hati ketika kakek kembali memandangku. Dia tersenyum damai sekali dan entah mengapa senyuman itu membuat hati ini teriris, aku ingin menangis. Firasatku mengatakan bahwa itu akan menjadi senyuman terakhir yang kakek berikan.
“Kakek ingin beristirahat, tapi sebelum itu kakek ingin menitipkan sepeda ontel milik kakek kepadamu anisa, kakek harap kamu dapat menemukan pasanganya”
Dengan perlahan mata kakek terpejam, walau tenggorokan ini tercekat aku terus berusaha untuk membisikan dua kalimat syahadat di telinga kakek. Tangis ini tak terbendung, tapi aku berusaha untuk tidak mengganggunya, mengganggu waktu istirahat kakek. Tiada yang tahu kapan kakek akan benar-benar pergi.
Awan kelabu menemani sore hariku. ketika aku tengah fokus menatap nisan yang ditancap kokoh di atas gundukan tanah merah yang telah rata dengan bumi. Langit membelah kemudian, rintik demi rintik air jatuh pertanda rasa duka cita.
Hampir 1 bulan lamanya kakek meninggalkan dunia ini. Laki-laki tua renta yang penuh semangat kini telah sampai pada titik kehidupan awalnya. Dia hanya tinggal menunggu pintu kemana kemudian kaki itu harus melangkah. Namun aku berharap dan selalu berdoa jika penantian panjangnya di kehidupan awal tidak, di kehidupan kubur sebelum itu dia tidak berakhir dalam siksa yang pedih.
Aku berdoa untukmu kakek, walau sampai sekarang nenek belum menemuimu. Walau ibu dan ayahku terlalu sibuk untuk mengunjungi tempat peristirahatan terakhirmu disini. Pada akhirnya hanya tuhan yang dapat membuka pintu hati mereka, mengetuknya untuk menemuimu. Tante luna menitip salam kepadamu, katanya dia rindu.
Sebentar lagi aku akan memiliki adik sepupu, tante luna dinyatakan telah mengandung bayi berusia 3 bulan hingga sekarang.
Betapa senangnya hati ini kakek, menjadi cucu satu-satunya tentu saja membuatku kesepian.
“Aku janji, dalam setiap kesempatan waktu luang yang aku miliki aku akan sering mengunjungi kakek. Dalam setiap salatku aku mendoakanmu”. Aku mengusap gundukan tanah kakek yang telah basah karena hujan rintik yang ditumpahkan secara alami dari langit.
Lalu aku bangkit dan berjalan menuju pohon rindang di samping makam kakek. Disana ada sepeda ontel milik almarhum yang kokoh sedang berteduh.
Itulah harta peninggalan terindah dan terbaik yang diberikan oleh kakek kepadaku. Untuk beberapa waktu aku memutuskan untuk berteduh bersamanya. Ketika begini aku menjadi teringat akan surat yang kakek berikan. Surat untuk gadis itu. Kebetulan aku membawanya, surat yang beralaskan dengan amplop lusuh berwarna krem. Di depannya terdapat tulisan yang belum berbentuk EYD dengan gaya tegak bersambung milik kakek.
14 Februari 1970
Teruntuk Raden Ayu Lestari, kekasihku tercinta. Bagaimana keadaanmu hari ini, terakhir kita bertemu kau tampak murung dengan para penjaga yang dikirimkan oleh ayahmu. Karena mereka aku tak dapat menemuimu layaknya dahulu. Betapa aku rindu dan betapa aku tersiksa.
Ayu… melalui surat ini aku harap kau dapat mengerti permintaanku; menikahlah denganku. Walau orangtuamu itu tak suka denganku karena aku hanyalah orang yang memiliki sepeda ontel, tidak lebih dari itu.
Tapi bersamanya aku ingin berjanji untuk berusaha menjadi orang yang memiliki nilai lebih, memiliki harta secara lahiriah maupun ukhrawi aku mampu. Aku percaya itu, disaat aku akan terus berusaha bersama sepeda ontel ini, sepeda yang telah membawa cinta kita bersama. Dengan cara itulah tuhan mempertemukan kita.
Bersabarlah untuku, tunggulah aku. Namun jika kemungkinan terburuk itu datang, apabila tuhan kelak tak menakdirkan kita bersama simpanlah sepeda ontelmu dan berikanlah kepada generasi berikutnya. Biarkan cinta kita mengalir melalui generasi dan waktu yang berbeda. Menyatu dalam kisah cinta yang akan kita beri judul; Cinta sepeda Ontel”.
Salam Terkasih
Abdullah Al Fauzi
Begitulah isi surat kakek, surat yang tidak pernah sampai kepada seseorang yang ingin kakek tuju.
Hujan turun dengan begitu derasnya, segera aku melipat surat milik kakek dan kumasukan ke dalam saku seragamku. Aku hendak menuntun sepeda ontel untuk meninggalkan TPU namun tiba-tiba saja langkah kaki ini terhenti.
Dalam pandangan yang tidak lagi jelas aku melihat dari arah berseberangan datang seorang pemuda. Dia menuntun sepeda ontel yang hampir sama, mirip sekali dengan punya kakek. Aku terdiam ketika dia terus berjalan menyusuri makam demi makam. Hingga dia berhenti di suatu makam yang membuatku terkejut. Memarkirkan sepeda ontelnya di bawah pohon rindang tempatku berdiri tadi, di samping makam kakek.
Dia berjongkok, walau di tengah hujan yang deras pemuda itu tetap fokus. Menengadahkan kedua tangannya menuju langit lalu mengusap wajahnya dengan lembut. Untuk beberapa saat dia menciumi nisan makam itu lalu dia bangkit untuk kembali menuntun sepeda ontel miliknya.
Rasa penasaran menyeruak di lubuk terdalam hati ini, lalu aku berlari kecil meninggalkan sepeda ontel kakek, menerobos hujan deras menuju makam seseorang yang berada di samping makam kakek. Aku berjongkok untuk melihat jelas nama yang tertulis di dalam nisan kayu itu: Raden Ayu Lestari?
Jadi pemuda itu, sepeda ontel itu: pasangan dari kedua sepeda ontel cinta milik raden ayu lestari.
Aku tersadar dan segera berlari untuk mencarinya menuju jalanan besar setelah menerobos makam demi makam. Begitu cepat dia menghilang hingga aku tidak dapat menemukanya.
Aku menangis, menyesal. Mengapa aku tak langsung menemuinya ketika perasaan itu muncul.
Aku telah menemukan pasangan sepeda ontel milik kakek. Dia tepat berada di depan kedua mataku tetapi hanya berselang beberapa menit saja aku menyia-nyiakan kesempatan itu. Amanah kakek, aku belum bisa menjalankanya dengan baik.
Berbulan bulan aku sering mengunjungi makam kakek untuk mendoakanya juga menunggu pemuda itu datang lagi. Namun penantianku sia-sia, sekalipun aku tidak pernah dapat menemukanya kembali.
Aku sedih tentu saja, namun di saat yang bersamaan perasaanku begitu terharu melihat makam kakek dan Raden Ayu Lestari berdampingan.
Seperti kata kakek mereka memang tidak pernah dapat ditakdirkan bersama di dunia ini, namun siapa yang menduga jika mereka akan kembali dipertemukan di tempat peristirahatan terakhir keduanya.
Mungkinkah di alam yang berbeda sana keduanya akan saling menyadari, atau mungkin mereka berdua sedang menunggu timbangan amal perbuatan untuk bergandengan tangan menuju pintu berikutnya.
Ahh, betapa indahnya cinta sejati itu. Walau raga terpisah jauh namun hati akan selalu terlihat bersama cinta yang abadi.
Lalu mungkinkah aku dan pemuda itu juga demikian?. Aku berharap kelak dia yang memiliki pasangan sepeda ontel kakek yang akan menjadi pasangan hidup ini jika tuhan mengizinkanya. Aku tulus bukan karena kakek tetapi alasan ini murni karena keinginan hatiku. siapapun orangnya, bagaimanapun keadaanya tentu aku akan menerima kurang dan lebihnya pemuda itu.
Pertemuan kami dikala hujan deras tentu saja membuatku tidak dapat mengenali bagaimana keadaan dan wajahnya dengan jelas.
BRUKKKK!!!
Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara yang mengkhawatirkan di kantin sekolah. Disusul dengan suara tawa keras yang terdengar menjengkelkan di telingaku. Dia lagi ternyata, seorang pemuda aneh bermata kodok, maksudku dengan kacamata kodok serta rambut ala mangkok, rangga namanya. Dia adalah siswa yang sering menjadi korban bullying anak-anak yang suka bertindak dengan semena-mena di SMA swasta tempatku bersekolah kali ini.
Dan mereka, anak-anak yang sering mengerjainya adalah anak-anak yang menganggap bahwa mereka dapat melakukan apa saja dengan harta yang dimiliki oleh orangtua mereka. Biasanya aku diam, tetapi kali ini tindakan anak yang bernama rafa dan genk terhadap rangga membuatku geram.
Cukup sudah, aku tidak tahan lagi melihat penindasan di depan mataku sendiri. Cukup sudah aku menjadi pecundang dengan mendiamkan perlakuan kasar mereka, cukup sudah aku takut untuk ikut ditertawakan. Ini semua demi kebenaran aku tidak perlu takut ataupun malu.
Aku beranjak dari tempat duduk, membantu membersihkan mie yang berserakan di lantai, serta mangkuk dan gelas yang telah berubah menjadi pecahan.
“Kamu baik baik saja?.
Aku melirik ke arahnya. Tanganku bergerak lincah merapihkan pecahan kaca, sementara itu semua anak di kantin bersorak untuk aku dan rangga, namun aku memilih untuk tidak menghiraukanya.
Cie yang pacaran, anak aneh plus gadis udik yang sukanya nuntun sepeda ontel. Emang klop beneran deh”. Ledek rafa yang spontan mengundang tawa banyak orang, namun rasa malu itu telah kebal. Aku tak peduli dan memilih untuk bersikap diam.
Dengan segera kuselesaikan pekerjaan itu dan cepat-cepat aku berlalu dari kantin. Aku fikir kejadian itu akan mudah dilupakan namun hingga bel pelajaran terakhir berbunyi mereka masih tetap saja terus menjengkelkan.
Aku berjalan lunglai menuju tempat parkir sekolah, sepeda ontelku ada disana. Kulihat anak anak di sekitar memberiku tatapan mengejek. Mereka fikir aku udik begitu, lagi pula apa salahnya jika aku menggunakan sepeda ontel. Seharusnya mereka mengurus kehidupan pribadi mereka.
Aku berjalan perlahan, dan tunggu sebentar. sepeda ontel miliku kenapa ada dua? ini?. aku terkejut ketika ada dua buah sepeda ontel yang sama terparkir di halaman sekolah. Tatapanku memutar ke segala arah namun tidak ada siapapun disini yang mengambil sepeda ontel yang satunya lagi.
Aku putuskan untuk menunggu selama kurang lebih satu jam namun seseorang tidak ada yang nampak untuk membawa pasangan sepeda ontel ini.
Aku menghembuskan nafas panjang, rasanya aku putus asa. Lagi pula Anisa apakah dengan menemukan pemuda yang notabenya cucu Raden Ayu Lestari, cinta sejati kakek, jika bertemu apakah dia mau denganmu. Apakah dia tidak memiliki kekasih, lalu apakah dia tertarik untuk melanjutkan perjodohan tidak resmi itu?.
Segala macam pemikiran berkecamuk menghampiriku.
Mungkin buku yang tuhan tulis dalam akhir kisah cinta dari sepeda ontel ini tetaplah sama kakek, mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Selanjutnya sebuah sekuel hanyalah mitos belaka.
Kuambil surat kakek dari dalam saku seragamku, cukup sudah. Surat ini bahkan tidak dapat tersampaikan kepada orang yang seharusnya dituju untuk kali kedua. Tangan ini melakukan gerakan hendak merobek kertas kumel berwarna krem, namun cengkraman di pergelangan tangan kananku menghentikan semuanya.
Aku mendongak, betapa aku terkejut melihat seseorang yang berdiri di hadapanku sekarang.
“Rangga?”. Aku memekik.
Pemuda itu tersenyum, dia kini telah berdiri di hadapanku dengan jarak yang amat dekat. Tidak ada lagi mata kodok, kaca mata itu telah dilepas dan menampakan mata kecil rangga dengan kornea mata berwarna hitam, mata itu tersenyum saat rangga tersenyum, mata bulan sabit: eyes smile.
Tulang pipinya terangkat, rangga memiliki pipi bakpau atau chubby, rambut mangkoknya berkibas di mainkan oleh angin. Tinggi badan kami yang nyaris sama membuat kami dapat berhadapan tanpa harus membuatku mendongak terlalu tinggi.
Jantungku berdetak dengan kencang, apa ini. Pemuda aneh itu..
“Anisa, sudah terlalu putus asa ternyata dirimu menantikan sang pemilik sepeda ontel itu?”
Mata besarku membulat, dengan segera aku melepaskan tangan kami yang tidak sengaja menyatu saat rangga mencengkram pergelangan tangan kananku tadi. Aku menatapnya tajam. “Kau membuatku menunggu terlalu lama”.
Rangga masih tersenyum, kemudian dia mengulurkan tangan kanannya. Aku menatapnya sebentar, aku tau artinya.
Hallo anisa, aku rangga, aku adalah cucu dari sang pemilik sepeda ontel ini. Aku telah mencarimu begitu lama, aku tahu kau juga mencariku, maaf membuatmu menunggu begitu lama”
Aku terkikik, rangga terdengar seperti anak kecil. Dengan tulus aku menerima uluran tangan pertanda jika aku menerima salam perkenalan dari pemuda aneh itu.
Dia begitu dekat, selama ini aku bahkan tidak menyadarinya, siapa yang menyangka jika pemuda itu adalah rangga.
Angin berhembus pelan, entahlah kakek, apakah bagian baru dari cerita cinta sepeda ontel baru akan dimulai. Siapa yang tahu, dan namaku anisa, bersama sepeda ontel cerita kami baru dimulai dari halaman berikutnya.
Apakah rangga jodohku, biarlah waktu dan takdir tuhan yang menjawabnya.
End.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar