Setelah setengah jam akhirnya sampai juga di sekolah. Akhirnya aku sampai juga di sekolahku yang sangat sederhana. Aku masuk ke kelasku yang masih sepi. Aku duduk di kursiku yang ada di depan. sambil menunggu bel berbunyi aku membaca novel yang kupinjam dari perpustakaan kemarin.
Tiba–tiba bel berbunyi lima kali, ini tandanya ritual yang membosankan itu segera dimulai. Dengan malas aku berjalan ke halaman sekolah untuk melaksanakan upacara. Hal yang sangat menyebalkan karena aku harus berdiri di bawah teriknya matahari.
Ditambah lagi kepala sekolah ngasih wejangan yang panjang banget bikin aku tambah kesel aja. Nggak tahu apa kalau aku ini capek berdiri sejak tadi. Ditambah lagi matahari yang semakin tinggi membuatku semakin gerah saja.
Setelah selesai semua siswa berebutam masuk ke dalam kelas masing-masing. Baru duduk lima menit tiba-tiba.
“Anak-anak hari ini kalian akan punya teman baru. Dia pindahan dari SMP 1” kata bu Rina.
Aku menoleh ke anak baru itu yang hanya menunduk.
Entah karena grogi atau malu atau apa aku nggak tahu. tapi anak yang sekarang berdiri di depanku itu benar-benar keren. Berbeda jauh dengan teman-teman di sekolahku yang selama ini kukenal.
“Ayo kamu perkenalkan diri kamu” perintah bu Rina pada anak baru itu.
Kemudian anak baru itu dengan suara yang agak keras memperkenalkan dirinya.
Nama saya Armando Reno biasa dipanggil Arman saya pindahan dari SMP 1” katanya singkat.
Kemudian bu Rina menyuruh dia duduk di sebelah mejaku yang memang kebetulan masih kosong. Aku mengamatinya saat dia berjalan ke arah bangkunya. Dia memang terlihat keren sih kayak artis Korea yang lagi naik daun itu. Ini adalah kejadian langka. Ada murid yang sekeren ini mau pindah ke sekolahku yang ada di pelosok. Benar-benar aneh dan luar biasa.
Anak baru itu tentu saja jadi pusat perhatian semua siswa yang ada di kelasku. Semua siswa di kelas memandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tak terkecuali diriku. Aku yang duduk di meja sebelahnya hanya berani melirik ke arahnya. Entah kenapa saat aku melihat wajahnya aku merasa deg-degan dan tubuhku langsung panas dingin nggak karuan.
Aku pun selalu mengingat hari itu, dimana saat pertama kalinya aku bertemu dengan Arman.
Aku tidak lagi membenci hari Senin, karena hari Senin adalah hari saat aku bertemu dengannya. Dan sejak itu tidak ada hari yang aku benci kecuali hari libur. Karena saat itu aku tidak bisa bertemu dengannya. Namun anak baru itu kelihatan cuek dan dingin banget. Dia juga nggak mau kenalan, jangankan kenalan senyum aja tak ke luar dari bibirnya. Benar-benar sombong. Pikirku.
Seminggu pertama anak baru itu rajiiiin banget. Dia selalu saja sudah duduk manis di kursinya saat aku memasuki kelas. Dan saat aku memasuki kelas otomatis pandangan kami bertemu karena dia selalu aja memandang ke arah pintu. Itu membuat jantungku terasa mau keluar dan aku jadi salah tingkah. Untung aku bisa mengontrol sikapku, jadi dia nggak akan curiga.
Namun baru sebulan masuk sekolah, anak baru itu sudah bikin ulah. Entah apa yang dia lakuin, siang itu dia dipanggil guru BP di ruangannya. Anehnya lagi si anak baru itu nggak punya tampang takut atau merasa bersalah, dia terlihat santai-santai saja.
Aku yang penasaran pun bertanya pada Usman, karena dia sahabat karibnya.
“Man, kenapa si Arman disuruh ke ruang BP?” tanyaku pada Usman yang sednag mengunyah snack yang baru dibelinya.
Nggak tahu sih na, tapi kayaknya gara-gara dia ketahuan nger*kok kemarin deh” katanya cuek sambil memasukkan makanan ringannya.
“Apa???” tanyaku kaget. “Si Arman nger*kok, dia kok berani sih man” tanyaku tidak bisa menyembunyikan rasa kagetku.
“Ya ampun lana, lana. Kamu kayak nggak tahu anak zaman sekarang aja, si Arman itu emang udah sering nger*kok.” Jelas Usman yang membuatku semakin terkejut.
Aku pun kembali ke bangkuku dan mulai mengerjakan soal-soal yang ada di buku. Baru mengerjakan tiga soal tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku.
“Lana” panggil suara itu.
“Ada apa?” kataku dengan suara bergetar.
Boleh pinjem PR Matematikanya nggak?” tanya Arman dengan nada santai.
“Ya, nih” kataku sambil menyerahkan bukuku dengan tangan yang bergetar.
Aku benar-benar nggak menyangka Arman akan ngomong sama aku. ini adalah pertama kalinya Arman ngomong denganku. Itu sudah membuatku sangat senang. Setelah selesai menyalin PR-ku dia pun mengembalikannya padaku. Aku menerimanya dengan tangan panas dingin.
Setelah kejadian itu Arman pun sering meminjam PR-ku. Aku tidak bisa menolak permintaannya itu. karena saat itulah aku bisa ngobrol dengannya. Aku bisa memandang matanya. Karena itulah aku jadi nggak canggung lagi saat berhadapan dengannya.
Bahkan saat ulangan pun dia sering minta contekan padaku. Lagi-lagi aku nggak bisa menolaknya.
“Alana tanya nomor 5 dong” kata Arman saat ulangan IPA pagi itu.
Aku yang sedang sibuk mengerjakan soal tidak menghiraukan panggilannya.
Tanpa kusadari Arman sudah ada di depan mejaku. Dan dia pun mengambil bukuku dengan paksa. Aku berusaha mengejarnya namun sia-sia. Langkah kakinya yang panjang membuatku tidak bisa mengimbanginya. Akhirnya aku membiarkan dia mencontek semua jawabanku.
Ketika hari demi hari berlalu, aku menyadari kebersamaanku dengan Arman tinggal sebentar lagi. karena aku sadar sebentar lagi kami akan lulus dan itu artinya aku mungkin nggak akan bisa melihatnya lagi. aku nggak akan bisa melihat senyumannya dan aku juga nggak akan bisa melihat rengekannya saat meminta contekan. Aku tahu aku pasti akan merindukan semua itu.
Hingga akhirnya hari perpisahan itu tiba juga. Saat melihatnya pergi, aku ingin menghentikan langkahnya. Tapi aku tidak mempunyai keberanian aku justru hanya menatap kepergiannya dengan memendam perasaanku. Sebelum dia menghilang di balik tikungan jalan dia sempat menoleh ke arahku dan aku pun balas menatapnya. Itu adalah tatapan terakhir kalinya.
Setelah hari perpisahan itu, aku benar-benar kehilangan dia. Aku tidak bisa menghubunginya dan aku pun tidak tahu keberadaannya. Kami benar-benar berpisah. Namun entah kenapa meski bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya aku tetap menyimpan perasaan ini untuknya.
Aku mencoba mengacuhkan ketidakhadirannya dalam hidupku, namun tetap saja aku masih memikirkannya. Aku menyembunyikan perasaanku hingga tak ada satu orang yang pun yang tahu.
Setiap hari Senin aku selalu ingat saat pertama kali aku bertemu dengannya. Semua itu selalu terekam di memoriku. Jika dulu aku begitu benci dengan hari Senin, sekarang aku akan mengenangnya saat hari Senin itu tiba. Selama bertahun-tahun aku tidak pernah mendengar kabarnya selama itu pula aku tidak bisa untuk melupakannya. Perasaan ini masih tersimpan di dalam hatiku.
Hingga suatu hari.
“Alana” panggil seseorang itu.
Aku pun menoleh ke arah suara itu dan melihat seseorang yang berdiri dengan gagah sambil melambaikan tangannya. Cowok berbadan tinggi itu keemudian menghampiriku. Aku seperti tidak asing melihat wajahnya. Aku mencoba mengingatnya, namun aku tetap saja tidak mampu mengingtnya. Saat cowok itu berdiri tepat di depanku barulah aku tahu siapa dia.
Ya ampun Usman sekarang kamu udah setinggi ini, kamu benar-benar berubah” sapaku pada Usman yang memang terlihat berbeda dengan Usman delapan tahun yang lalu.
“Berubah apanya lan, aku masih tetep Usman yang dulu kok” katanya santai.
“Kamu kok tahu sih kalau ini aku?” tanyaku basa-basi.
“Yang punya dahi selebar lapangan kan Cuma kamu doang lan, makanya nggak susak kalo ngenalin kamu” katanya.
Aku pun tertawa mendengar candaannya. Kemudian kami pun bertukar cerita mulai dari sekolah pekerjaan, teman dan semuanya.
“Oh ya lan, Arman minta nomor HP mu?” kata Usman tiba-tiba.
Aku langsung kaget dan terkejut mendengar nama itu disebut. Nama yang selama aku rindukan. Tiba-tiba ada yang berdesir di dalam hatiku. nama itu sudah lama sekali tidak aku dengar.
“Apa??
Arman minta nomorku? buat apa man?” tanyaku dengan nada polos.
“Ya buat ngubungin kamu lan, kamu tuh gimana sih” kata Usman
Aku tidak mampu mengucapkan kata-kata mendengar kalimat yang barusan Usman katakan. Aku benar-benar terkejut. Aku nggak tahu apakah aku harus bahagia atau sedih mendengar semua ini.
“Boleh nggak?” tanya Usman lagi
Aku hanya diam tidak berani menjawab pertanyaan dari Usman.
“Ya ya boleh” jawabku sambil menyebutkan nomor HP ku.
Aku merenungkan kembali perkataan Usman.
Hatiku begitu bahagia tapi akal sehatku menolak mentah-mentah pernyataan itu. logikaku tidak bisa mennerima fakta ini. Rasanya nggak mungkin Arman bisa menyukaiku, karena aku merasa aku dan dia begitu berbeda. Meski aku sangat berharap aku bisa mencintainya.
Saat sedang melamun tiba-tiba
“Halo, assalamua’alaikum. Ini siapa?” tanyaku
“AKu-aku…” terdengar suara terbata-bata di seberang sana
Aku menunggu beberapa saat, tapi masih tidak ada sahutan. Kemudian aku pun memutuskan untuk menutup sambungan teleponnya, tapi tiba-tiba…
“Aku Arman” kata suara di seberang sana.
Pengakuan itu membuat jantungku nyaris berhenti berdetak. Aku hampir tidak bisa mengambil nafas karena tiba-tiba udara di kamarku terasa pengap. Kini aku yang diam tidak tahu harus menjawab apa. Arman hanya bilang jika dia ingin bertemu denganku di sekolah SMP kita dulu. Aku hanya bisa mengatakan iya, karena hatiku terlalu bergetar sehingga aku tidak sanggup lagi untuk berkat-kata.
Pagi harinya aku bangun pagi-pagi sekali dan segera bersiap-siap. Aku mandi dan memilih pakaian yang terbaik yang aku pakai. Aku memilih celana jins dan kemeja kotak-kotak berwarna merah. Setelah siap aku pun segera berangkat menuju tempat SMP ku dulu. Selama perjalanan aku memikirkan bagaimana caranya aku manyapanya nanti. Lalu apa yang akan aku bicarakan padanya.
Jarak yang kutempuh lumayan jauh. aku membayangkan bagaimana Arman sekarang. Apakah dia masih seperti dulu ataukah sudah berubah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri tentang bagaimana dirinya. Karena tidak sabar untuk menunggunya aku pun menekan gas sepeda motorku agar aku bisa cepat sampai di tempat tujuan.
Hari ini aku begitu bahagia karena aku akan bertemu dengan seseorang yang selama ini aku tunggu. Aku tidak sabar untuk segera sampai di sekolah SMP ku dulu. Aku pun menambah kecepatan motorku.
Ketika tiba-tiba di tikungan jalan ada sebuah truck dengan kecepatan tinggi aku mencoba mengerem namun terlambat. Truck itu sudah berada tepat di depanku. Tabrakan itu pun tidak dapat dihindarkan. Aku hanya mendengar suara braakkkk dan orang-orang yang kemudian berkerumun di sekelilingku.
Kepalaku pusing dan mataku terasa berat untuk kubuka. Aku hanya mendengar suara orang-orang yang ada di sekelilingku. Setelah itu semuanya gelap.
Tiba-tiba aku melihat ragaku tergeletak dan dibawa entah kemana.
“Apakah ini artinya aku sudah mati?” tanyaku pada diri sendiri.
Kemudian aku teringat pada Arman. Aku segera menuju ke sekolah SMP ku dulu. Di depan pintu gerbang kulihat Arman sudah berpakaian rapi berdiri dengan gelisah. Aku pun menghampirinya. Namun saat aku memanggilnya dia tidak sedikit pun menoleh ke arahku. Aku baru sadar jika jiwaku ini sudah terpisah dengan ragaku.
Aku pun hanya mengamatinya. Dia terlihat gelisah dan beberapa kali mellihat jam yang ada di tangannya. Aku begitu sedih melihatnya. Ingin aku mengatakan padanya jika aku ada di sini di sampingnya.
Tiba-tiba teleponnya berbunyi
“Ada apa man?” tanyanya
“Apa?, Alana kecelakaan? Sekarang di mana?” suara Arman terlihat panik dan terkejut. Kemudian dia pergi dengan mengendarai motornya. Sementara aku mengikutinya. Ternyata dia ada di rumah sakit. Di situ sudah ada banyak orang. Dan juga ada Usman.
“Bagaimana keadaannya man?” tanyanya pada Usman yang terlihat sedih.
“Nggak tahu man, dokter lagi memeriksanya. Kita tunggu saja nanti. Semoga saja keadaannya tidak parah” kata Usman menjelaskan.
Arman hanya diam namun raut di wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Tidak lama kemudian Arman terlihat mengeluarkan air matanya.
Kemudian seorang dokter ke luar dari ruangan. Arman dan usman pun langsung menghampiri dokter itu dan menanyakan keadaanku.
“Maaf nak, nyawanya tidak bisa tertolong lagi. kami tadi sudah berusaha tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Maafkan kami” kata dokter itu kemudian pergi meninggalkan Armand an Usman.
Aku yang emndengar hal itu langsung terduduk lemas, aku nggak percaya jika aku sudah mati. Aku ingin berlari dan menghampiri Arman yang menangis. Aku ingin berkata jika aku ini belum mati aku masih ada di sampingnya. Tapi apa daya dia bahkan tidak bisa mendengar suaraku dan melihat diriku. Aku benar-benar ingin menangis. Kenapa ini harus terjadi.
Kenapa Engkau ambil nyawaku di saat aku tahu orang yang kucintai selama ini juga mencintaiku. Kenapa ya Allah kenapa Engkau ambil nyawaku sekarang. Kenapa Engkau tak memberikan aku waktu untuk bertemu dengannya dan mengungkapkan perasaanku padanya” kataku bertanya-tanya.
Aku melihat wajah Arman yang sudah penuh dengan airmata. Aku duduk di sampingnya mengamati wajah yang selama ini kurindukan. Wajah ini yang selalu memenuhi kepalaku selama bertahun-tahun. Sekarang ada di depanku namun aku tidak dapat menyentuhnya. Dia begitu dekat namun terasa begitu jauh karena sekarang kami terpisah dengan dinding alam yang berbeda.
“Kenapa Engkau ambil nyawanya saat aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya Tuhan kenapa Engkau ambil dia sebelum aku bertemu dengannya. Bertahun-tahun aku menunggunya, tapi kenapa saat aku akan bertemu dengannya, engkau justru mengambil nyawanya” kata Arman sambil menutup wajah sedihnya.
Aku tak tahu harus bagaimana. Seharusnya aku bahagia mendengar itu dari mulutnya. Kata-kata yang selama ini aku tunggu. Tapi sekarang aku sudah ada di alam yang berbeda dnegan Arman. Aku hanya bisa menyesali semua kebodohanku karena tidak mengungkapkan perasaanku sejak dulu. Mungkin jika aku mengatakannya sejak dulu semuanya tidak akan berakhir seperti ini.
Kini aku hanya bisa pergi meninggalkan dunia ini dengan airmata. Takdir Tuhan telah memutuskan jika aku harus pergi meninggalkannya. Tanpa mnegucapkan perasaanku padanya. namun aku berharap dia tahu jika aku juga mencintainya sejak pertama kali melihatnya. Meskipun aku tidak mengucapkannya tapi aku berharap dia merasakannya. Jika aku memiliki perasaan yang sama dengannya dan aku selalu ada di dekatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar