Kalau berbicara logika jatuh itu sakit, tapi kenapa orang-orang begitu suka jatuh cinta?” pertanyaan itu meluncur dari salah satu penonton kepada sang motivator cinta di atas panggung.
“Logika tidak pernah mengerti dengan perasaan, tapi perasaan dipaksa untuk mengerti dengan logika,” jawabnya.
Saya yang juga menjadi penonton memalingkan pandangan kepada seorang gadis di samping saya. Ingatan saya menjadi tertinggal di dua jam yang lalu ketika saya berpapasan dengan gadis itu di pintu masuk. Saat saya hampir berhasil melihat seluruh wajahnya dia keburu menutup pipi kanannya dengan ujung jilbab, mungkin dia malu, padahal saya sudah tahu kalau di pipi kanannya terdapat bekas luka yang cukup besar; saya tidak sengaja melihatnya.
Berarti logika itu egois!” dengus seorang pria yang duduk di depan saya.
“Logika, perasaan? Saya tidak percaya keduanya,” ujar gadis yang menutup pipi kanannya dengan ujung jilbab, setengah kesal.
“Apa yang membuat seseorang bisa menduakan cintanya, logika atau perasaan?” tanya seorang perempuan di bangku paling kiri.
“Logika!” batin saya berteriak.
Perempuan itu adalah sang mantan, dulu dia mengkhianati cinta saya dan lebih memilih pria berdasi yang sedang duduk di sampingnya. Itu semua karena logikanya; pria itu adalah seorang direktur sedangkan saya hanyalah seorang anak muda yang baru lulus dari Sma. Sebelum dia meninggalkan saya, sempat terucap dari mulutnya; aku masih cinta tapi aku ingin hidup senang. Benar kata motivator tadi logika tidak pernah mengerti dengan perasaan, dan perasaan dipaksa untuk mengerti dengan logika.
Seseorang yang yakin dengan perasaannya, tidak akan pernah menduakan cintanya, walau apapun yang terjadi,” jawabnya.
“Logika itu jahat, perasaan itu lebay.” kali ini gadis yang ada di sampingku semakin kesal.
“Terus kalau seseorang yang suka membohongi pasangannya, apa itu tidak punya logika atau tidak punya perasaan?”
“Tidak punya kedua-duanya!” lagi-lagi batin saya berteriak.
Dua tahun perempuan itu membohongi saya. Selama kami berhubungan dia selalu mengingatkan saya; jangan ada dusta di antara kita. Tapi dia sendiri yang menelan bulat-bulat ucapan yang sudah dimuntahkannya. Meskipun perempuan itu tidak menjelaskannya, saya cukup mengerti mengapa dia harus menyembunyikan rahasia bahwa Ayah dan Ibunya sudah menyiapkan jodoh.
Banyak ucapan itu ini yang pernah diikatnya bersama janji-janji, mungkin dulu yang ada dalam hatinya hanya ingin hidup dengan saya, sampai-sampai memperlakukan saya seperti raja, tanpa disadarinya segala perhatian yang diberikan telah menciptakan perasaan yang dalam di hati saya.
Sial, ternyata dia lebih menyukai kesenangan, hidup berselimut kemewahan daripada harus memulai semuanya dari nol bersama saya, tanpa memikirkan perasaan saya bagaimana, dan tanpa mengingat perasaannya sendiri yang masih mencintai saya. Entah perempuan itu bodoh atau apa, dia tidak sadar telah membuat saya berharap setinggi langit dan akhirnya dia pula yang menyebabkan saya jatuh hingga terpatah-patah tidak berdaya.
Setelah acara selesai semua penonton bubar menuju lorong pintu ke luar. Saya memperhatikan gadis yang mempunyai bekas luka di pipi kanan dan sekali-sekali memperhatikan sang mantan yang bergandengan tangan dengan suaminya, tidak ada rasa cemburu sedikitpun, yang ada malah merasa jijik melihat anak remaja bermesraan dengan Aki-aki. Itu memang hak dia tapi saya juga punya hak untuk merasa jijik.
Saya jadi mikir; kalau uang bisa membuat Aki-aki menikah dengan anak gadis, dan uang bisa membuat mata seorang anak gadis menjadi katarak sehingga Aki-aki kelihatan seperti bujangan. Meski tidak semuanya begitu.
Saya hampir kehilangan gadis itu dari penglihatan tapi untung mata saya masih jeli menemukan dia di antara kerumunan orang-orang yang sedang berjalan, saya langsung bergerak menghampirinya. Entah kenapa dia malah lari ketika saya coba dekati, tapi karena saya juga punya kaki, saya mengejarnya sampai dia menyerah dan berhenti di pinggir jalan.
“Kenapa kamu mengejar saya?” tanyanya bergelagat ketakutan.
“Tenang! Saya tidak ada maksud jahat sama kamu.”
“Terus kenapa kamu mengganggu saya?”
“Dan saya juga tidak ada maksud untuk mengganggu kamu.”
Sebuah sedan merah berhenti, membuat dialog yang sedang berjalan juga ikut berhenti, seorang pria setengah abad ke luar dari sedan itu bersama istrinya. Saya tidak mengerti apa maksudnya, pamer kemesraan kah, sekali lagi saya tidak merasa iri apalagi cemburu dan sekali lagi saya malah jijik. Bibir yang sudah peot itu mencium kening anaknya, maksud saya mencium kening istrinya yang lebih pantas menjadi anaknya. Seketika saya merasa mual mendengar kalimat rayuan dari Aki-aki itu; de apapun yang de mau abang pasti beri.
Dia benar-benar sudah lupa usia, umur segitu masih ingin dipanggil abang, itu memang haknya tapi lagi-lagi saya juga punya hak untuk muak dengan hal itu. Mending jika niatnya karena Tuhan semata namun si tua itu karena nafsu, bukan suudzon tapi kalau bukan karena nafsu lalu mengapa dia merebut kekasih saya dan kemudian dijadikan istri yang ke tiga belas. Sial, gara-gara terlalu memperhatikan mereka, tahu-tahu gadis berjilbab yang tadi sedang mengobrol dengan saya lari lagi, saya kembali mengejarnya dan meninggalkan dua orang itu tanpa tatakrama.
“Tunggu!” pinta saya ketika berhasil menghadangnya.
“Mau apa lagi?”
“Saya mau mengatakan sesuatu sama kamu.”
“Apa?”
“Saya jatuh cinta sama kamu.”
Dia tertawa kemudian bicara. “Dasar lelaki, kamu pikir saya bodoh? Saya tahu kriteria perempuan yang bisa membuat lelaki jatuh cinta pada pandangan pertama, dan saya tidak punya kriteria itu, apalagi kamu belum mengenal saya.”
Agar dia percaya, saya mengaku; bahwa hari ini bukan pertama kalinya saya melihat dia, namun memang benar jika untuk bertemu secara langsung baru kali ini. Saya suka memperhatikan dia sedang duduk di taman, dan saya merasa rindu bila tidak melihatnya, saya juga kagum kepadanya karena selama duduk di taman dia menggunakan waktunya untuk menghafal Al-quran. Pernah juga pada suatu hari saya merasa cemburu karena dia ditemani seorang lelaki yang ternyata adalah Kakaknya.
“Kepada kamu saya merasakan rindu, kagum, dan cemburu, saya jatuh cinta sama kamu.”
“Tapi kamu tidak tahu, kalau..”
“Di pipi kanan kamu ada bekas luka kan? Itu tidak masalah. Terkadang cinta memang tidak memerlukan sepasang mata, karena cinta memang buta, justru kamu yang perlu tahu kalau saya..”
“Hanya anak yang baru lulus dari Sma, di bagi ijazah pun belum, dan kamu suka membantu Ibumu mengantarkan pesanan kue kepada pelanggan, Ibu saya adalah salah satu pelanggannya. Saya siap memulai semuanya dari nol bersama kamu.”
Dia menurunkan ujung jilbab yang sedari tadi menutup pipi. Bibirnya menciptakan lekuk senyum yang indah, membuang jauh-jauh logika; malu punya pendamping yang jelek. Bagi saya kecantikan tidak menjamin kebahagiaan dalam menjalin sebuah hubungan. Yang terpenting orang yang saya cintai bisa menjamin perasaan hingga waktu berhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar