unitedbet88

Sabtu, 03 Desember 2016

CERITA CINTA - Senyuman Yang Mengangis

Gadis itu terus saja termenung di salah satu bangku panjang yang ada di taman kota. Angin begitu sejuk hingga menerpa helaian rambutnya, membuatnya semakin indah sebagai ciptaan tuhan.
Pandangannya terus menatap lurus dengan pandangan kosong, yang ada di hadapannya kini terlihat jelas banyak insan yang sedang bersenang-senang ria dengan orang yang mereka sayangi.

“Kamu lagi apa sih sayang?” Gadis itu menoleh ke sampingnya. Ia tersenyum lalu mendekap pria itu dengan erat.
“Kamu kenapa Dir?” Tanyanya lagi
“Aku kangen sama kamu, kamu nggak boleh tinggalin aku” ucap Nadira sambil mengeratkan pelukannya, seolah ia tak ingin apa yang sudah ia miliki hilang kembali.





Pria itu tersenyum lalu melonggarkan pelukannya, ditatapnya mata hazel milik Nadira.



“Sayang hei dengerin aku ya, sampai kapanpun aku nggak akan pernah ninggalin kamu, aku akan selalu ada di samping kamu, jadi kamu nggak usah berpikir bahwa aku bakal ninggalin kamu, ya?”
“Janji?” Dion hanya terkekeh sendiri melihat tingkah kekanak-kanakan dari Nadira, lalu tangannya menarik Nadira ke dalam pelukannya, menenangkannya agar ia tahu, bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan gadis yang sangat ia cintai.
“Aku janji sayang”

Nadira menenggelamkan kepalanya ke dalam dada bidang Dion, dihirupnya aroma mint yang melekat di tubuh kekar Dion, seolah menjadi candu untuknya serta membuatnya semakin tenang dalam keresahan.

“Jangan sedih gitu, kamu itu cantik kalau lagi senyum”
“Ish, Gombal”
“Nggak kok, kan emang fakta”
“Tetep aja Gombal, Dion sekarang jadi tukang gombal” Dion terkekeh geli melihatnya, melihat Nadira tersenyum bahagia bukan lagi kebahagiaan bagi Dion, tapi sudah seperti pelengkap hidupnya.

Nadira kembali mendekap dan melingkarkan tangannya ke perut Dion, memejamkan matanya sejenak untuk menetralisir rasa nyaman yang sudah ia dapatkan selama tiga tahun ini dari kekasih yang sangat ia cinta, Diony Fahran Assegaf.

“Sayang” sahut Dion dengan suara yang lirih, Nadira mendongkakkan kepalanya menatap mata Dion yang sendu dan menyejukan bagaikan embun.
“Iya?”
“Kamu mau kan hidup bareng aku?” Pertanyaan itu berhasil membuat Nadira melepaskan dekapannya dan menatap Dion dengan tatapan tajam.
“Maksud kamu apa?” Tanya Nadira yang masih tak mengerti dengan alur dialog yang masih terasa ambigu.

Dion menggenggam erat kedua tangan Nadira lalu ditatapnya mata hazel itu dengan berbagai macam arti.

“Tiga tahun aku dan kamu terikat sama hubungan ini, tiga tahun pula kita bersama dan menjalani hidup bersama setiap hari. Aku sudah banyak tahu tentang kamu, semua tentang kehidupan kamu, dan pastinya kamu juga sudah banyak tahu tentang kehidupanku, Nadira.” Nadira menyerjitkan dahinya masih bingung dengan penjelasan dari Dion, tapi ia sama sekali tak berniat untuk memotong pembicaraan Dion yang sepertinya akan serius.

Aku mau kamu ada di hidup aku seutuhnya, menerima semua kekuranganku, dan melengkapi segala kelebihanku. Aku mau kamu Nadira, kamu ada di setiap waktu untuk menemaniku di sepanjang waktu dan aku mau kamu yang kelak menjadi jodohku.

Nadira, apa kamu mau menjadi seseorang yang akan menemani sisa hidupku, menjadi calon bidadari surga serta menjadi ibu untuk anak-anakku kelak?” Penjelasan itu membuat Nadira menutup mulutnya tak percaya, ia tak percaya, padahal dulu ia selalu berusaha agar Dion peka pada hubungannya yang tak bisa dimain-mainkan, mengingat usianya yang sudah menginjak 25 tahun.

Air mata Nadira meluncur seketika, ia langsung menghamburkan tubunya ke tubuh Dion dan ia terisak disana, Dion yang melihat masih bingung pun hanya mengusap halus punggung Dira.

“Aku mau Dion, aku bersedia menjadi seseoang yang bisa menjaga dan menemani dikala senang maupun duka dihidup kamu. Aku mau menjadi masa depan kamu, aku mau menjadi ibu dari anak-anak kita nanti, Aku bersedia, Dion”

Benarkah, Dir?” Tanya Dion tak percaya saat Nadira melepaskan pelukannya.
“Lihat mataku Dion, sejak dulu aku menginginkan kamu yang berhak menatap mataku ini selamanya, aku benar ingin menjadi orang yang bisa melengkapi segala kekurangan dan kelebihanmu”
“Terimakasih, Dir. Aku mencintaimu”
“Aku mencintaimu lebih, Dion”

Dion menghapus air matanya lalu ia menghapus sisa air mata Nadira, perlahan ia mulai mendekatkan wajahnya hingga Nadira memejamkan matanya sejenak.

Diciumnya kening Nadira, lalu beralih mengecup kedua kelopak mata Nadira, hidung, dan kemudian beralih pada bibir merah ranum Nadira yang selama ini belum sekalipun tersentuh. Nadira tersenyum lalu mengangguk, Dion tersenyum lalu mengecup bibir Nadira dengan lembut, menyalurkan rasa cinta yang paling dalamnya untuk gadis manis tersebut.

“Mau ice cream?” Tanya Dion membuat mata Nadira terbuka lebar, lalu ia tersenyum
“Mauuu” pekik Nadira, namun hal itu membuat Dion terkekeh geli melihat sikap menja yang selalu melekat pada Nadira.
“Ya udah kita ke kadai ice cream, ya. Udah itu kita ke rumah kamu, aku mau langsung bicarain tentang pernikahan kita sama keluarga kamu, sekalian aku mau ketemu Bunda, udah lama nggak ketemu”
“Iya, bunda bilang dia kangen sama kamu”
“Berarti aku punya signal kuat dong”
“Apa?”
“Belum apa-apa udah direstuin sama calon mertua”
“Isshh Dion nyebelin, ayo”

Dion tertawa lalu mengajak Nadira ke kedai ice cream yang berada di dekat Taman. Wajah Nadira sangat cerah, secerah cuaca yang sedang terpatri di langit luas.

Tak butuh beberapa lama, Mereka akhirnya duduk dan memesan Ice cake.

Dion memperhatikan Nadira yang sedang asyik melahap ice cup miliknya, sangat menggemaskan. Ini yang membuatnya semakin cinta pada sosok Nadira yang sangat periang, tak ada alasan untuknya mengapa ia begitu mencintai gadis itu, karena apa yang ada di hatinya, ia sudah tahu bahwa dialah takdirnya.

“Kamu kok liatin aku terus?” Tanya Nadira saat melihat Dion sedang memandangnya sejak tadi. Dion tersenyum lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap sesuatu yang berada di sudut bibir Nadira, hal itu membuat Nadira tersentak kaget.
“Makanya kalau makan ice cream jangan kaya orang yang lapar dong”
“Ih, aku kan nggak tahu”

Dion tersenyum lalu menatap Nadira, tangannya ia gunakan untuk menopang wajahnya, hal itu membuat Nadira tersenyum malu.

“Nadira, Lo kenapa senyum-senyum?” Tanya seseorang yang sudah duduk di hadapan Nadira. Nadira tersentak kaget sudah melihat Sisil berada di hadapannya. Dimana Dion? Bukannya tadi ada bersamanya, lalu mengapa sekarang menghilang dan berubah menjadi Sisil?
“Nadira, Lo kenapa sih?” Tanya Sisil kembali saat melihat Nadira yang seperti orang kebingungan.
“Sisil?” Tanya Nadira yang baru menyadari kehadiran Sisil di hadapannya. Sisil menghela napas sejenak. “Lo kenapa, Nad?”

Dion” ujar Nadira seketika, kening Sisil mengkerut saat mendengarnya. “Dion mana Sil? Tadi dia ada disini? Lo liat Dion nggak? Atau mungkin dia buru-buru sampai nggak pamit sama gue?” Tanya Nadira bertubi-tubi. Dapat terlihat jelas bagaimana ekspresi khawatir dan bingung di wajahnya.
“Nadira” ucap Sisil, namun Nadira malah bangkit dari duduknya.
“Sil gue harus pergi, gue mau cari Dion. Kayanya dia ada di luar. Bye”
“NADIRA!” Sisil meninggikan ucapannya saat Nadira hendak melangkah, untung mereka berada di luar kedai saat itu.

Nadira menatap Sisil dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Dion udah tenang disana, Nad. Dia udah nggak bisa lo cari lagi kemana-mana” pernyataan itu mampu membuat Nadira terpaku di tempatnya, lalu ia kembali menghempaskan bokongnya di kursi dengan pandangan yang kosong, ia masih ingat saat di taman Sisil mengajaknya bertemu di kedai ice cream, tapi keterlaluannya ia malah berkhayal bahwa ia masih memutar kenangan itu sampai kini.

Nadira terdiam, ia sadar, Dion sudah tidak ada, ia sudah pergi, ia pergi dari hidupnya seolah terhembus angin tanpa kata. Memorinya kembali memutar saat kejadian ia dan Dion pulang sehabis melakukan fitting baju, kecelakaan itu berhasil merenggut nyawa orang yang sudah ia cintai walaupun hampir juga merenggut nyawanya dengan menjalani kritis selama beberapa minggu.

Tesss

Air mata itu kembali terjatuh, Nadira sadar, takdir memang selalu mempunyai cara sendiri untuk mengaduk perasaan seseorang. Dan kini takdir yang dulu ia harapkan sudah terenggut dan tak bisa menjadi kenyataan, semua kini telah maya, tak bisa menjadi nyata. Jiwanya sudah terbawa mati bersama raga sang kasih, ia rindu, sungguh. Dan jika takdir ini bisa berlanjut, ia hanya ingin satu; tidak mau untuk yang kedua kalinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar